Gagal Kecewa
Tanggal 5 Oktober 2017, Yayasan Pangudi Luhur berulangtahun ke 63 tahun. Selama 63 tahun itu, tidak sedikit sekolah-sekolah yang sudah didirikan oleh yayasan tersebut. Mulai dari SD sampai dengan SMA sudah tersebar secara merata dari Sabang sampai Merauke. Banyak sekolah Pangudi Luhur yang besar, namun juga tidak sedikit yang sederhana dan terpencil letaknya. Setiap sekolah Pangudi Luhur tidak akan melupakan tanggal ulang tahun Yayasan Pangudi Luhur, sehingga setiap tanggal 5 Oktober pasti selalu diselenggarakan lomba. Jujur, aku tidak mengetahui apakah lomba tiap sekolah sama atau berbeda. Yang jelas, sekolahku, yaitu SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta, menyelenggarakan lomba menghias tumpeng antar kelas. Tentu saja, lomba tersebut tidak sederhana. Kami harus membuat tumpeng dari rumah, kemudian menyiapkan seluruh barang untuk menghias tumpeng. Belum lagi sikap dalam membuatnya yang harus sportif, kemudian telatn dan tekun.
Pada pagi itu, tepatnya tanggal 5 Oktober 2017, hampir sekelas sudah datang dan bersiap untuk lomba tumpeng. Tumpeng sudah siap untuk dihias, hanya saja masih di dalam cetakan. Cetakan tumpeng sengaja belum dilepas supaya tumpeng lebih terlindungi dari bahaya tersenggol. Sementara itu, lauk, sayur, dan berbagai macam hiasan sudah disiapkan oleh teman-temanku. Kami juga sudah menyiapkan nasi kuning satu kotak besar beserta tambahan lauk-pauk dan sayur untuk dibagikan kepada teman-teman sekelas. Tumpeng tentu saja tidak cukup untuk porsi satu kelas, maka kami semua menyiapkan makanan tambahan agar setiap perut anak di kelasku dapat terisi. Tentu tidak ada yang suka kelaparan kan?
Kami semua tidak akan langsung lomba. Semua peralatan dan bahan memang sudah siap, namun pertama-tama, kami satu sekolah harus mengikuti misa dan rosario sebagai acara pembukaan lomba tumpeng antar kelas. Misa dan rosario itu terasa lama, karena kami menjadi tidak sabar untuk memulai lomba tumpeng. Segala hal sudah kami persiapkan dengan baik dan detail. Setiap anak memiliki tugasnya masing-masing. Bahkan, beberapa temanku yang benar-benar pintar menghias belajar di salah satu rumah temanku untuk menghias tumpeng. Semua itu adalah totalitas dari kami. Sekarang, satu-satunya yang kami pikirkan adalah menghias tumpeng. Bisakah kami berhasil? Bisakah kami menjadi pemenang?
Akhirnya, misa dan rosario yang terasa lama sekali pun sudah usai. GOR, tempat kami mengikuti pelaksanaan misa dan rosario mendadak sepi, karena seluruh siswa dari kelas 7 sampai dengan kelas 9 menuju ke kelas masing-masing untuk mengikuti pelaksanaan lomba tumpeng antar kelas. Sebenarnya, jarak dari misa sampai pelaksanaan lomba tumpeng itu 30 menit. 30 menit itu dapat kami pergunakan untuk beristirahat. Sekolah sudah menyediakan snack roti cokelat dan minuman teh. Namun, karena kami benar-benar tidak ada pekerjaan selain hanya makan snack itu, akhirnya kami menata tempat untuk mengikuti lomba tumpeng. Hampir semua kursi dan meja digeser ke pinggir. Sembilan meja diantaranya digeser ke tengah membentuk persegi panjang untuk meletakkan tumpeng dan hiasan-hiasannya. Begitu semua sudah tertata rapi, baru kami mulai mengkonsumsi snack yang sudah disediakan oleh sekolah tersebut.
Setelah berjalan beberapa menit, baru kami menyadari bahwa kami adalah satu-satunya kelas yang sudah tertata rapi diantara kelas sebelah kami. Kami bertempat di kelas 7F. Kelas 7E, yang letaknya persis disamping 7F, siswa-siswanya masih berkeliaran di luar sementara tumpengnya belum disiapkan. Begitu pula dengan 7G. Kami tidak mengetahui apa yang terjadi di 7A - 7D, karena keempat kelas itu sudah dapat dianggap berbeda “kompleks.” Kami dipisahkan oleh lapangan upacara secara melebar, sehingga untuk sampai di keempat kelas itu, paling cepat kami harus berlari.
Akhirnya, waktu 30 menit itu berakhir. Waktunya bagi kami untuk menghias tumpeng. Teman-temanku yang memang bertugas sebagai tim penghias langsung sigap berdiri di depan kesembilan meja yang sudah ditata rapi. Cetakan tumpeng dibuka dan terlihat tumpeng yang berbentuk kerucut tersebut. Dengan segera, lauk pauk dan sayuran yang sudah disiapkan mulai ditata dengan rapi di“bakul” tempat tumpeng itu diletakkan. Sementara itu, ada tim pembungkus “catering.” Mereka duduk di depan papan tulis dan mulai menyiapkan kotak besar berisi nasi kuning dan mika-mika yang memang sudah secara khusus disiapkan oleh teman-temanku. Belum lagi tim yang menyiapkan vas bunga. Terdengar sederhana, namun pekerjaannya tidak kalah ribet dengan kedua tim yang sebelumnya. Mereka harus mempergunakan pisau dan sayur-sayuran atau buah-buahan. Sayur-sayuran atau buah-buahan tersebut akan dibentuk seperti bunga, yang akan ditancapkan dengan lidi yang dibungkus buncis di sebuah vas bunga.
Dibandingkan kerja keras ketiga tim tadi, tugasku hanyalah sederhana. Sebuah tumpeng untuk merayakan kelahiran Yayasan Pangudi Luhur yang ke-63 tidak lengkap tanpa sebuah bendera. Bendera tersebut akhirnya akan ditaruh di tumpeng. Nah, tugasku hanyalah membuat bendera dengan simbol Yayasan Pangudi Luhur ataupun SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta. Namun, karena aku bingung, maka ayahku membuatkan dua konsep bendera. Kedua konsep tersebut ditempel-tempel di atas kertas HVS, kemudian dilaminating agar kaku. Konsep bendera itu sendiri masih mentah, belum dibentuk ataupun dipotong. Ayahku mempercayaiku untuk memotong konsel bendera tadi seindah mungkin yang tentu saja akan ditaruh di tumpeng. Dengan berbekal gunting, aku pun memotong konsep bendera dengan sangat hati-hati. Jika aku tidak hati-hati dan melakukan satu kesalahan fatal saja, maka bendera tidak akan jadi dipajang.
Parahnya, karena belum tahu dan berpengalaman, aku salah dalam memotong konsep bendera yang pertama. Lambang SMP PL 1 Yogyakarta memang hanya ditempel di atas kertas HVS kemudian dilaminating. Kebetulan yang tidak beruntung, aku memotong bagian yang ditempel, sehingga lambang SMP PL 1 Yogyakarta terlepas dari kertas HVS. Untung saja, dengan kesalahan itu, lidi justru bisa diletakkan di antara lambang SMP PL 1 Yogyakarta dengan kertss HVS. Tentu saja tidak ada manusia yang mau melakukan sesuatu yang dianggapnya salah untuk kedua kalinya. Aku memotong konsep bendera kedua dengan lebih hati-hati, karena konsep bendera kedua bentuknya lebih mirip kipas dan jika kejadiannya sama seperti konsep bendera pertama, tentu akan lebih ribet lagi.
Satu jam berlalu. Tumpeng sudah selesai dihias, cateringan berjumlah 41 (jumlah siswa 40, + wali kelas) juga sudah selesai dan ditata rapi diatas meja. Cateringan tersebut memang menggoda selera, namun tumpeng dan segala macam hal harus segera dibawa ke GOR untuk penilaian. Kami, secara bersama-sama, membawa tumpeng dengan sangat hati-hati. Beberapa teman tampak membentengi tumpeng tersebut agar tidak ada siswa yang merusak “mahakarya” kami. Sesampainya di GOR, kami melihat sudah ada meja kecil bertaplak yang bawahnya bertuliskan 7F. Meja itu adalah tempat untuk “mahakarya” kami, yakni tumpeng yang sudah dihias. Tumpeng, piring serta sendok dan garpu, vas bunga, gelas minum, dan lilin sudah siap di atas meja kami. Tampak juga satu cateringan kecil, yang aku pun tidak tahu apa maksudnya itu. Konsep bendera kedua yang kini sudah menjadi semacam kipas pun akhirnya ditaruh di vas bunga. Perpaduan buah dan sayuran dengan “kipas” berlogokan SMP Pangudi Luhur berbentuk segilima berjumlah tujuh yang mengelilingi kata “7F” menambah cantiknya meja kami. Begitu pula api lilin yang membuat tentram sekaligus sebagai alat untuk mengusir lalat juga dapat dibuat sebagai nilai plus kami.
Walaupun begitu, keyakinanku untuk menjadi juara seolah pupus setelah melihat tumpeng dari 7A dan 7B. Tumpeng mereka terlihat sangat bagus dan ramai. Terutama di meja kelas 7A, terdapat menu dan harga tumpeng, lalu juga ada foto kelas. Sekali melihat, aku langsung menduga bahwa 7A dan 7B akan menjadi juara. Dibandingkan dengan tumpeng mereka, tumpeng 7F sangatlah sederhana. Namun, siapa yang tahu pemenangnya? Kami hanya dapat berdoa dan memohon kepada Tuhan.
Akhirnya, tibalah pengumuman pemenang lomba tumpeng antar kelas. Pengumuman lomba itu seringkali disebutkan dari juara terrendah. “Juara ketiga”, begitu kata salah satu guru, “adalah 7B.” Pesimisme mulai tumbuh di dalam diriku.
‘Tumpeng 7B sudah termasuk yang paling bagus. Jika 7B juara tiga, 7F akan juara berapa?’ batinku. Kemudian, disebutkan bahwa juara kedua adalah kelas 7A. ‘Ya sudah,’ pikirku, ‘kemungkinan juara 1 sangatlah kecil.’ Tidak disangka-sangka, rupanya juara 1 adalah kelas 7F. Serentak satu kelas langsung bersorak-sorai, menggemakan suara kemenangan. Kerja keras kami tidak sia-sia, bahkan ketika kami kalah pun, kerja keras kami tidak akan pernah sia-sia.
Hadiah juara 1 cukup memuaskan. Ada sapu, file document, sebungkus permen fox, dan taplak meja. Kebetulan, semua dari hadiah tersebut kami butuhkan sebagai kebutuhan kelas! Namun, kami sebagai pemenang tidak boleh sombong. Kemenangan adalah dampak dari proses. Menang kalah itu memang biasa, namun yang tidak biasa adalah prosesnya. Kami bisa dinyatakan menang, menurutku karena seorang guru pernah masuk dan memperhatikan aktivitas kami yang lebih teratur daripada kelas lain. Kami semua mandiri dan tidak dibantu oleh orangtua dalam proses penghiasan tumpeng. Menurutku, itu adalah kunci kemenangan yang sesungguhnya.
Pada pagi itu, tepatnya tanggal 5 Oktober 2017, hampir sekelas sudah datang dan bersiap untuk lomba tumpeng. Tumpeng sudah siap untuk dihias, hanya saja masih di dalam cetakan. Cetakan tumpeng sengaja belum dilepas supaya tumpeng lebih terlindungi dari bahaya tersenggol. Sementara itu, lauk, sayur, dan berbagai macam hiasan sudah disiapkan oleh teman-temanku. Kami juga sudah menyiapkan nasi kuning satu kotak besar beserta tambahan lauk-pauk dan sayur untuk dibagikan kepada teman-teman sekelas. Tumpeng tentu saja tidak cukup untuk porsi satu kelas, maka kami semua menyiapkan makanan tambahan agar setiap perut anak di kelasku dapat terisi. Tentu tidak ada yang suka kelaparan kan?
Kami semua tidak akan langsung lomba. Semua peralatan dan bahan memang sudah siap, namun pertama-tama, kami satu sekolah harus mengikuti misa dan rosario sebagai acara pembukaan lomba tumpeng antar kelas. Misa dan rosario itu terasa lama, karena kami menjadi tidak sabar untuk memulai lomba tumpeng. Segala hal sudah kami persiapkan dengan baik dan detail. Setiap anak memiliki tugasnya masing-masing. Bahkan, beberapa temanku yang benar-benar pintar menghias belajar di salah satu rumah temanku untuk menghias tumpeng. Semua itu adalah totalitas dari kami. Sekarang, satu-satunya yang kami pikirkan adalah menghias tumpeng. Bisakah kami berhasil? Bisakah kami menjadi pemenang?
Akhirnya, misa dan rosario yang terasa lama sekali pun sudah usai. GOR, tempat kami mengikuti pelaksanaan misa dan rosario mendadak sepi, karena seluruh siswa dari kelas 7 sampai dengan kelas 9 menuju ke kelas masing-masing untuk mengikuti pelaksanaan lomba tumpeng antar kelas. Sebenarnya, jarak dari misa sampai pelaksanaan lomba tumpeng itu 30 menit. 30 menit itu dapat kami pergunakan untuk beristirahat. Sekolah sudah menyediakan snack roti cokelat dan minuman teh. Namun, karena kami benar-benar tidak ada pekerjaan selain hanya makan snack itu, akhirnya kami menata tempat untuk mengikuti lomba tumpeng. Hampir semua kursi dan meja digeser ke pinggir. Sembilan meja diantaranya digeser ke tengah membentuk persegi panjang untuk meletakkan tumpeng dan hiasan-hiasannya. Begitu semua sudah tertata rapi, baru kami mulai mengkonsumsi snack yang sudah disediakan oleh sekolah tersebut.
Setelah berjalan beberapa menit, baru kami menyadari bahwa kami adalah satu-satunya kelas yang sudah tertata rapi diantara kelas sebelah kami. Kami bertempat di kelas 7F. Kelas 7E, yang letaknya persis disamping 7F, siswa-siswanya masih berkeliaran di luar sementara tumpengnya belum disiapkan. Begitu pula dengan 7G. Kami tidak mengetahui apa yang terjadi di 7A - 7D, karena keempat kelas itu sudah dapat dianggap berbeda “kompleks.” Kami dipisahkan oleh lapangan upacara secara melebar, sehingga untuk sampai di keempat kelas itu, paling cepat kami harus berlari.
Akhirnya, waktu 30 menit itu berakhir. Waktunya bagi kami untuk menghias tumpeng. Teman-temanku yang memang bertugas sebagai tim penghias langsung sigap berdiri di depan kesembilan meja yang sudah ditata rapi. Cetakan tumpeng dibuka dan terlihat tumpeng yang berbentuk kerucut tersebut. Dengan segera, lauk pauk dan sayuran yang sudah disiapkan mulai ditata dengan rapi di“bakul” tempat tumpeng itu diletakkan. Sementara itu, ada tim pembungkus “catering.” Mereka duduk di depan papan tulis dan mulai menyiapkan kotak besar berisi nasi kuning dan mika-mika yang memang sudah secara khusus disiapkan oleh teman-temanku. Belum lagi tim yang menyiapkan vas bunga. Terdengar sederhana, namun pekerjaannya tidak kalah ribet dengan kedua tim yang sebelumnya. Mereka harus mempergunakan pisau dan sayur-sayuran atau buah-buahan. Sayur-sayuran atau buah-buahan tersebut akan dibentuk seperti bunga, yang akan ditancapkan dengan lidi yang dibungkus buncis di sebuah vas bunga.
Dibandingkan kerja keras ketiga tim tadi, tugasku hanyalah sederhana. Sebuah tumpeng untuk merayakan kelahiran Yayasan Pangudi Luhur yang ke-63 tidak lengkap tanpa sebuah bendera. Bendera tersebut akhirnya akan ditaruh di tumpeng. Nah, tugasku hanyalah membuat bendera dengan simbol Yayasan Pangudi Luhur ataupun SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta. Namun, karena aku bingung, maka ayahku membuatkan dua konsep bendera. Kedua konsep tersebut ditempel-tempel di atas kertas HVS, kemudian dilaminating agar kaku. Konsep bendera itu sendiri masih mentah, belum dibentuk ataupun dipotong. Ayahku mempercayaiku untuk memotong konsel bendera tadi seindah mungkin yang tentu saja akan ditaruh di tumpeng. Dengan berbekal gunting, aku pun memotong konsep bendera dengan sangat hati-hati. Jika aku tidak hati-hati dan melakukan satu kesalahan fatal saja, maka bendera tidak akan jadi dipajang.
Parahnya, karena belum tahu dan berpengalaman, aku salah dalam memotong konsep bendera yang pertama. Lambang SMP PL 1 Yogyakarta memang hanya ditempel di atas kertas HVS kemudian dilaminating. Kebetulan yang tidak beruntung, aku memotong bagian yang ditempel, sehingga lambang SMP PL 1 Yogyakarta terlepas dari kertas HVS. Untung saja, dengan kesalahan itu, lidi justru bisa diletakkan di antara lambang SMP PL 1 Yogyakarta dengan kertss HVS. Tentu saja tidak ada manusia yang mau melakukan sesuatu yang dianggapnya salah untuk kedua kalinya. Aku memotong konsep bendera kedua dengan lebih hati-hati, karena konsep bendera kedua bentuknya lebih mirip kipas dan jika kejadiannya sama seperti konsep bendera pertama, tentu akan lebih ribet lagi.
Satu jam berlalu. Tumpeng sudah selesai dihias, cateringan berjumlah 41 (jumlah siswa 40, + wali kelas) juga sudah selesai dan ditata rapi diatas meja. Cateringan tersebut memang menggoda selera, namun tumpeng dan segala macam hal harus segera dibawa ke GOR untuk penilaian. Kami, secara bersama-sama, membawa tumpeng dengan sangat hati-hati. Beberapa teman tampak membentengi tumpeng tersebut agar tidak ada siswa yang merusak “mahakarya” kami. Sesampainya di GOR, kami melihat sudah ada meja kecil bertaplak yang bawahnya bertuliskan 7F. Meja itu adalah tempat untuk “mahakarya” kami, yakni tumpeng yang sudah dihias. Tumpeng, piring serta sendok dan garpu, vas bunga, gelas minum, dan lilin sudah siap di atas meja kami. Tampak juga satu cateringan kecil, yang aku pun tidak tahu apa maksudnya itu. Konsep bendera kedua yang kini sudah menjadi semacam kipas pun akhirnya ditaruh di vas bunga. Perpaduan buah dan sayuran dengan “kipas” berlogokan SMP Pangudi Luhur berbentuk segilima berjumlah tujuh yang mengelilingi kata “7F” menambah cantiknya meja kami. Begitu pula api lilin yang membuat tentram sekaligus sebagai alat untuk mengusir lalat juga dapat dibuat sebagai nilai plus kami.
Walaupun begitu, keyakinanku untuk menjadi juara seolah pupus setelah melihat tumpeng dari 7A dan 7B. Tumpeng mereka terlihat sangat bagus dan ramai. Terutama di meja kelas 7A, terdapat menu dan harga tumpeng, lalu juga ada foto kelas. Sekali melihat, aku langsung menduga bahwa 7A dan 7B akan menjadi juara. Dibandingkan dengan tumpeng mereka, tumpeng 7F sangatlah sederhana. Namun, siapa yang tahu pemenangnya? Kami hanya dapat berdoa dan memohon kepada Tuhan.
Akhirnya, tibalah pengumuman pemenang lomba tumpeng antar kelas. Pengumuman lomba itu seringkali disebutkan dari juara terrendah. “Juara ketiga”, begitu kata salah satu guru, “adalah 7B.” Pesimisme mulai tumbuh di dalam diriku.
‘Tumpeng 7B sudah termasuk yang paling bagus. Jika 7B juara tiga, 7F akan juara berapa?’ batinku. Kemudian, disebutkan bahwa juara kedua adalah kelas 7A. ‘Ya sudah,’ pikirku, ‘kemungkinan juara 1 sangatlah kecil.’ Tidak disangka-sangka, rupanya juara 1 adalah kelas 7F. Serentak satu kelas langsung bersorak-sorai, menggemakan suara kemenangan. Kerja keras kami tidak sia-sia, bahkan ketika kami kalah pun, kerja keras kami tidak akan pernah sia-sia.
Hadiah juara 1 cukup memuaskan. Ada sapu, file document, sebungkus permen fox, dan taplak meja. Kebetulan, semua dari hadiah tersebut kami butuhkan sebagai kebutuhan kelas! Namun, kami sebagai pemenang tidak boleh sombong. Kemenangan adalah dampak dari proses. Menang kalah itu memang biasa, namun yang tidak biasa adalah prosesnya. Kami bisa dinyatakan menang, menurutku karena seorang guru pernah masuk dan memperhatikan aktivitas kami yang lebih teratur daripada kelas lain. Kami semua mandiri dan tidak dibantu oleh orangtua dalam proses penghiasan tumpeng. Menurutku, itu adalah kunci kemenangan yang sesungguhnya.
Comments
Post a Comment