Belajar Berbagi #05

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang kesibukan yang berjibun. Tentu saja, banyak hal yang harus dikerjakan kami setelah mendirikan tenda, salah satunya adalah berganti baju untuk melaksanakan upacara pembukaan alias defile. Kami akhirnya sudah berhasil mengikuti upacara pembukaan itu dan melaksanakan kegiatan kami selanjutnya, yakni memasak. Tentu saja, kita tidak akan membahas hal yang sama, namun melanjutkan hal tersebut. Kami memasak masakan yang tergolong sederhana bagi kami, yaitu sop. Awalnya biasa saja. Cuaca cerah, memungkinkan kami untuk memasak. Namun, lama-kelamaan, matahari ditutupi oleh awan mendung. Dalam sekejap saja, awan mendung itu mengirimkan suatu hal yang menjengkelkan bagi kami. Apa itu? Hujan!

Begitu terdengar suara hujan, tentu saja kami agak panik. Mengapa? Pertama, kegiatan masak kami tergganggu. Tentu saja kalian mengetahui, kegiatan masak identik dengan api. Kami menyalakan kompor portable dan soblok untuk memasak sop dan lauk. Kompor portable yang dimaksud sebuah instrumen tradisional. Terbuat dari gerabah, dan sumber panasnya dari arang. Orang menyebutnya anglo. Ketika hujan turun, mau tidak mau kami langsung membawa masakan kami semua ke bawah terpal. Kerennya, terpal tersebut tidak dibuat oleh kami, tapi oleh regu lain. Bahkan regu lain tersebut bukan dari sekolahku, namun dari sekolah lain! Untung saja, sekolah tersebut tidak memiliki tugas memasak pada hari itu. Apalagi, sekolah tersebut tampaknya juga tidak berkeberatan kami memakai terpalnya? Sekedar untuk diketahui, aku dan beberapa temanku, dan sebagian orangtua memasak, baik untuk kami sendiri maupun satu kelompok lain. Jadi, sebagian dari hasil memasak akan disetorkan ke grup lain yang sudah menjadi tugas kami untuk memasakkan. Baik, mari kembali ke topik sebelumnya: serangan bernama hujan.

Kedua, kami belum membuat parit. Ya, tentu saja, tanpa parit, tenda kami akan kebanjiran dan kami terpaksa tidur di tempat lain pada malam itu. Kemungkinan besar akan ada tempat evakuasi, namun kami lebih memilih untuk menyelamatkan tenda dari kebanjiran daripada harus menginap di tempat evakuasi. Apalagi tidak hanya kami yang tinggal di tenda tersebut, namun juga barang-barang kami, yang tentu saja masih akan kami pakai dua hari kedepan. Jadi, teman-temanku langsung memakai jas hujan yang memang mereka bawa dan segera membuat parit bersama beberapa orangtua. Parit itu lah yang kemudian memang menyelamatkan kami. Hujan sempat menggila beberapa saat. Air tercurah ke lereng Gurung Merapi tempat kami berkemah. Air deras mengalir di parit-parit yang baru saja dibuat.

Tampaknya, dua hal itu yang memang mengesan di sore itu. Membuat masakan untuk salah satu kelompok lain menjadi pengalaman yang bagus. Mengapa? Karena kami belajar untuk berbagi. Kami diajak untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri. Itu lah indahnya. Namun jangan salah, sekalipun tujuannya terdengar indah, prakteknya tidak cukup mudah. Sumber panas dari arang hitam yang menyala merah ternyata tidak sebagus api kompor gas. Artinya, panasnya lamban, seperti siput – makhluk gastropoda yang berjalan dengan otot perut yang berlendir. Namun dalam segala kesulitan dan keterbatasan, sering kali muncul hal-hal baik yang selama ini tersembunyi. Apakah itu?

Sopir dari mobil yang kami tumpangi, yang adalah ayah dari teman kelompokku, ternyata setia menemani kami. Melihat kekacauan akibat hujan yang melanda dengan tiba-tiba, beliau turun tangan. Kecekatannya dalam menangani persoalan yang ada membuat kami terselamatkan. Anglo dan segala jenis bahan makanan segera diungsikan di dalam terpal. Ketika kami masih kebingungan dengan memasak, seorang ibu dari teman kami pun juga turn tangan. Malam itu, perut kami cukup dikenyangkan oleh masakan.

Itu lah petualangan yang aku bisa bagikan. Hal-hal apa sajakah yang terjadi selanjutnya? Apa jadinya ketika seorang teman diserang asma?

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT