Telapak yang Terkoyak
Banyak hal yang biasa kami lakukan sekeluarga di dalam
liburan. Misalnya, olahraga badminton, bermain musik, menulis cerita, menonton
video, dan yang paling terakhir, bermain game. Namun, kali ini, kita akan
membahas kegiatan berolahraga badminton yang berakhir cukup dramatis. Pada waktu
itu, hari sudah mulai menjelang sore. Seperti biasa, bapakku selalu mengajakku
bermain badminton. Aku pun menanggapi ajakan itu dengan bersemangat. Akhirnya,
kami semua pergi ke sebelah timur rumah kami untuk bermain badminton.
Di sebelah timur rumah kami, ada gang privat milik tetangga
kami sebagai jalan masuk keluarnya kendaraan. Namun, kami tentu saja diperbolehkan,
karena gang itu hanya sebagai jalan masuk keluar. Jadi, sekali-kali kami harus minggir
sebentar apabila ada kendaraan tetangga kami lewat. Begitu kami sampai di situ,
dengan asyik dan penuh semangat, kami memainkan shuttlecock sebagai benda untuk
melampiaskan tenaga kami yang kami simpan selama hari itu.
Keterampilan bermain badminton kami, baik aku maupun bapakku,
sudah meningkat. Itu hasil dari analisis bapakku. Karena, sebelum kami berani
keluar untuk bermain badminton, kami hanya bermain badminton di belakang rumah,
yang berfungsi sebagai kebun kami. Karena di belakang rumah sempit, maka kami
harus bermain pelan atau harus bermain secara hati-hati. Jika tidak, maka
dengan segera, shuttlecock akan menyangkut di atas atap bangunan. Atau, lebih
parah lagi, shuttlecock itu akan melewati batas rumah kami yang terbuka, dan dapat
mengenai tetangga kami, baik rumahnya maupun orangnya. Apabila itu benar-benar
terjadi, maka, akan terjadi kerepotan besar bagi kami. Untung hal itu tidak
terjadi. Maka, akhirnya, aku dan bapakku sekarang bermain badminton di luar rumah.
Mungkin memang ada keuntungan bermain badminton di luar rumah.
Kami menjadi bisa memukul shuttlecock sekeras mungkin, (bisa jadi sampai dengan
kecepatan lebih dari 100 km/jam!), dan dapat menangkis serangan kami
masing-masing dengan lincah. Namun dari keuntungan itu selalu saja disertai
dengan kerugian. Setidaknya ada tiga kerugian yang bisa aku sampaikan di sini. Kerugian
pertama adalah, apabila aku atau bapakku menangkis terlalu keras, maka
shuttlecock itu akan melambung terlalu tinggi, sehingga menyangkut di atap
rumah, baik itu rumah tetangga, maupun rumah kami sendiri. Selama ini ada dua shuttlecock
yang tidak bisa terselamatkan. Kerugian kedua, apabila angin sedang bertiup,
maka, shuttlecock akan jatuh dengan kecepatan yang tidak bisa diprediksi,
sehingga kami sering salah menangkis ketika angin bertiup.
Dan, kerugian yang paling terakhir, adalah kerugian yang
dialami bapakku. Ketika kami bermain badminton, bapakku benar-benar memukul dan/atau
menangkis shuttlecock dengan penuh tenaga. Tahu apa dampaknya? Bagian telapak tangannya
melepuh. Di balik lapisan kulit yang melepuh itu tersimpan cairan bening. Ketika
telapak tangan semakin kuat mencengkeram raket, bagian yang melepuh itu pun
pecah. Tahu bagaimana rasanya akibat dari pecahnya kulit yang melepuh itu?
Pedih sekali, terutama ketika tangan bersentuhan dengan air.
Terpaksa, permainan badminton kami terhenti sampai situ karena
luka bapakku ternyata cukup mengganggu. Namun, semua kerugian itu tentu tidak menghalangi
kami untuk mencoba lagi dan lagi untuk mengembangkan keterampilan kami dalam bermain
badminton. Itu hanyalah luka kecil, dan bapakku bukan orang yang cengeng. Dia
tidak akan merasa trauma hanya karena luka kecil itu. Aku optimis, dia akan
segera kembali mengajakku bermain badminton, tentu dengan keceriaan yang tiada terganggu
oleh luka kecil itu.
Selamat Rio atas tulisan berikutnya. Kali ini, dirimu menulis di atas tempat tidur. Hari Minggu ini tidak memungkinkan kita menikmati aliran deras Kali Kuning. Yang menarik, sekalipun tidak pergi keluar rumah, dirimu tetap bisa menjaga produktivitas. Liburan kali ini memang kita berencana melakukan terobosan kecil. Terobosan itu berupa pelatihan regulasi diri. Regulasi diri dalam hal apa? Dalam membangun pembiasaan bermain musik dan menulis. Kita tidak perlu lama untuk masing-masing pembiasaan itu. Cukup 60 sampai 90 menit perharinya. Itu hal sederhana yang kita lakukan. Kalau kebiasaan macam itu sudah terbentuk, kita akan jauh lebih mudah menikmati pembelajaran yang jauh lebih menantang. Inilah sepotong keyakinan kecil. Dengan keyakinan kecil dan sederhana kita bercita-cita hendak mengubah realitas hidup kita.
ReplyDeleteRio is indeed gifted. So happy to have read your writing, little boy with big talent.
ReplyDeleteRio is indeed gifted. So happy to have read your writing, little boy with big talent.
ReplyDeletePasti sakit sekali dulu kakiku juga melepuh karena sepatu yang kurang bagus. perih sekali.
ReplyDeleteKalau sepatu baru memang sering melukai kaki. Setelah beberapa hari dipakai, kaki kita akan lebih mudah beradaptasi. Terimakasih telah mampir dan berkomentar di sini.
Delete