Dikejar Genderuwo

Hari-hari sekolah sudah tiba. Dua minggu pertama sekolah sudah dipenuhi dengan banyak kehebohan, atau lebih tepatnya kegiatan super-sibuk. Kamis, 28 Juli 2016, jam 15.15 aku sudah stand-by di Taman Budaya, tempat kami akan melakukan gladi kotor untuk pentas 30 Juli. Latihan berlangsung hingga jam 17.30. Kembali sampai rumah jam 18.11. Ayahku menyambut kami dengan wajah kusam. Tampaknya baru saja bangun tidur. Namun, secercah kesegaran tampak dari sorot matanya. “Jam 20.00 kita latihan di Banteng. Acara perayaan mengenang 1000 hari meninggalnya Mas Agus Bewok direncanakan 6 Agustus. Malam ini gabungan latihan musik dan koornya,” suara ayahku datar.  Jadilah Kamis sore itu aku berlatih musik di dua tempat yang berbeda, untuk kepentingan yang berbeda pula.


Hari Jumat tidak kalah super-heboh. Jam 14.30 direncanakan gladi bersih di Taman Budaya. Jam 18.00 latihan lagi dengan koor Lingkungan Veronica, Sagan. Sabtu pun juga demikian. Jam 18.00 Tampil di Taman Budaya. Minggu pagi, jam 07.00 tugas mengiringi perayaan Ekaristi di Kapel Bintang Samudera, Panti Rapih. Siangnya, aka nada latihan dengan tim organis di Gereja Kotabaru. Nah, kalau dipikir-pikir, dengan kesibukan macam ini, habislah hari-hariku untuk bermain musik melulu. Padahal, target menulis kisah  harian 50 hari berturut-turut tetap menjadi komitmen utama juga. Bagaimana ini? Untunglah, aku memiliki ayah yang penuh pengertian. “Kamu pernah menulis kisah-kisah sebelumnya kan?” Nanti Bapak bantu untuk cari yang belum dipublikasikan. Nah, kali ini, silahkan menikmati tulisan berikut: kisah tentang dikejar Genderuwo … hiiii ..


Kisah ini merupakan tulisan pada liburan akhir tahun 2015 lalu. Aku menikmati kesempatan mengunjungi saudara sepupu. Kegiatan yang paling menyenangkan bagi kami adalah ketika kami jalan-jalan ke wilayah yang sangat asing. Kami sedang berkunjung di salah seorang kerabat.Tepatnya di daerah Kaliduren. Kunjungan ke rumah kerabat mengasyikan bagi orang-orang tua. Mereka asyik bicara sana-sini, yang dengan segera membuat kami mencapai puncak kebosanan. Seperti biasa, aku pun segera memunculkan usul usil kepada kedua saudara sepupuku: Mas Fandy dan Mbak Ivo. Mbak Ivo seusiaku, dan Mas Fandy tiga tahun di bawah usiaku. Namun, karena orang tua mereka berdua adalah kakak dari ibuku, tentu tidak sopan kalau aku menyebut langsung namanya. “Mari kita bertualang,” bisikku pada mereka. Sekejap, keempat bola mata mereka pun bersinar-sinar kegirangan. Dalam sekejap pula kami sudah di jalanan.

Ada perempatan di depan kami. Akhirnya kami memutuskan, kami akan membelok ke kiri. Di depan jalan yang kami pilih ada jalan menurun, lalu setelah jalan menurun itu, jalan menjadi naik dan normal kembali. Sementara itu, di pinggir jalan menurun itu, ada pohon jati dengan akar yang besar. Suara binatang tonggeret memenuhi telinga kami. Kami pun berjalan menurun. Namun ditengah jalan menurun, suasana menjadi gelap karena daun dari pohon jati itu menutupi sinar matahari. "Iih, gelap banget disini ya," kata Mbak Ivo. "Kembali aja yuk," dukung mas Fandi sambil bergidik ketakutan. Tiba-tiba aku mendapatkan ide untuk menakut-nakuti kedua saudara sepupuku itu. 

"GENDERUWO....... GENDERUWO....." teriakku. Kami lari terbirit-birit. Sementara itu, aku masih berteriak, "Awas, dibelakangmu ada GENDERUWO....." Setelah mencapai perempatan itu kembali, Mbak Ivo mendampratku. Namun akhirnya, kami semua tertawa dan terengah-engah karena kecapekan berlari. Akhirnya, karena kami tidak terlalu berani melewati pohon jati itu, maka kami pilih jalan lurus. Di kanan jalan yang kami pilih kali ini, ada pohon jambu. Mas Fandi ingin memetiknya, namun Mbak Ivo melarangnya. Kami pun meneruskan berjalan kaki.

Kami berbalik ke arah perempatan itu lagi, karena di jalan yang kami pilih tadi tidak terlalu menarik. Sekali lagi, kami akhirnya memutuskan berjalan di jalan yang kami pilih tadi. Yang ada "Genderuwo"nya. Ternyata aman-aman saja, ketika kami melewati pohon jati itu. Hanya saja, kata Mbak Ivo, sesuatu yang menakutinya dari pohon jati itu adalah akarnya yang tebal dan meliuk-liuk. Setelah jalan menurun itu kami lewati, ada jembatan yang memisahkan kami dari sungai yang jauh di bawah kami. Arus dari sungai itu sangat deras. "Kalau ada orang mau bunuh diri di sini, tempat ini cocok," celetuk mas Fandi. Tentu saja, perkataannya adalah hasil dari pikiran imajinatifnya yang masih kecil. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Jalan menjadi naik. Kami terengah-engah menahan beban kami, melawan gravitasi bumi. Ketika jalan menjadi normal lagi. Ketika melihat ke depan, kami kaget. "Lho, ini kan jalan yang tadi?" tanya Mbak Ivo mengomentari jalan bergapura yang ada di depan kami. "Iya, betul," jawabku. Kami melewati gapura itu, dan membelok ke kiri. "Iya, betul. Ini jalan yang tadi kita lewati," ulang mas Fandi. Di depan kami, keadaan jalan sama persis dengan jalan yang kami lewati waktu kami naik mobil.  Sampai di rumah mbah Karjono, kami minum air putih sambil betul-betul terengah-engah. Kami beristirahat sebentar, lalu memulai perjalanan kami yang mengasyikkan.

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT