Tragedi Tikus
Pagi itu adalah pagi yang biasa. Tidak ada hal yang istimewa.
Seperti biasa, aku bangun pukul enam pagi. Tidak membuang-buang waktu, aku
segera bangun dan mandi. Selesai mandi, aku memakai baju sekolah, lalu meminum
energen. Energen itu akan membuatku kenyang, sampai jam sembilan. Nanti, jam
sembilan, aku makan di sekolah saat istirahat. Seperti biasa, sambil minum
energen, aku dan kedua orangtuaku duduk sambil berbincang-bincang. Relasi kami lebih
seperti teman, bukan seperti orangtua dan anaknya. Namun tentu saja, perandaian
itu tidak mengurangi rasa hormatku kepada kedua orangtuaku. Saat aku duduk di
kursi, ayahku cerita kepadaku tentang insiden tadi malam. Tepatnya tragedi.
Tragedi seekor tikus. Ayahku menceritakan dengan gayanya yang khas dan unik.
"Tadi malam, waktu Rio masih tidur, ayah dan ibu
bermain bola dengan tikus. Ibu sebagai penjaga gawangnya, tikus adalah bolanya.
Kamu tahu kan, hari-hari sebelumnya, tikus masuk rumah ini dan berkeliaran di
dalam rumah akhir-akhir ini? Nah, tadi malam, waktu ayah dan ibu mau tidur,
kami melihat ada tikus berjalan di dekat kulkas. Ibu mengambil sapu untuk
mengusir tikus itu. Ayah waktu itu membuka pintu untuk mengusir tikus itu.
Namun, bukannya keluar, tikus itu malah semakin masuk ke dalam rumah. Ibu yang
membawa sapu, entah mengapa, melewatkan tikus yang sedang lewat di sampingnya. Sebagai
perandaian, penjaga gawang itu kebobolan. Akhirnya, dengan berbagai macam cara,
kami berhasil menangkap tikus yang menjengkelkan itu." "Lalu?"
tanyaku. "Lalu, ayah membunuh tikus itu dan memendam di halaman rumah,"
lanjut ayah, mengakhiri cerita dramatis ini.
Tak sadar, gelas yang berisi energen penuh, sekarang kosong.
Mungkin gara-gara efek cerita dramatis ayahku, ya? Aku segera mengembalikan
gelas kosong itu ke sing, lalu siap-siap berangkat sekolah. Sementara itu,
ayahku sudah siap di depan gerbang rumah sambil membawa mobilnya. Setelah
selesai bersiap-siap untuk berangkat sekolah, aku menaiki mobil. Dalam
perjalanan, seperti biasa, ayahku mengajakku untuk berdoa terlebih dahulu.
Setelah itu, ayahku mengajari berbagai suku kata Bahasa Inggris. Cara
mengajarinya pun menarik. Tidak membosankan seperti guru Bahasa Inggris pada umumnya.
Setelah mobil sudah sampai di depan gerbang sekolahku yang
biru, akupun turun dari mobil. Dan dengan segala kelincahanku, aku berlari
menuju bangunan sekolah yang besar itu....
Ini adalah sebuah tulisan yang lebih dekat ke fiksi. Mengapa? Dalam karya fiksi ditampilkan sejumlah hal yang imaginatif. Memang, dasar dari tulisan ini adalah realitas empiris. Relasi dalam keluarga memang sangat egaliter. Itu realitas empiris. Namun soal tercabutnya nyawa sang tikus, itu cerita lain. Itu buah dari imaginasi yang unik. Tidak pernah terjadi namun diceritakan dengan indah.
ReplyDeletewah bagus sekali. aku tidak suka tikus. Untung di rumah tidak ada tikus.
ReplyDeleteHehehe. Makasih telah berkomentar.
ReplyDelete