Latihan Ambil Resiko
Dua hari terakhir ini, hari seakan berubah menjadi neraka.
Neraka sering diartikan sebagai api penyiksaan atau penyucian. Kejadian yang
aku alami tidak persis seperti itu, karena tentu saja, tidak pernah ada orang hidup yang pernah melihat neraka.
Bahkan, api penyiksaan dan gambarannya pun hanya diprediksikan oleh manusia,
sehingga gambaran neraka asli dengan neraka prediksi manusia bisa jadi jauh
perbedaannya. Namun intinya sama. Penyiksaan. Tantangan. Resiko. Aku mengalaminya
selama dua hari ini. Enam sampai tujuh jam bermain musik, di dua tempat yang
berbeda. Bahkan, itu terjadi setelah aku pulang sekolah. Selama dua hari ini,
tidak pernah ada yang namanya istirahat selain tidur.
Namun, prediksi manusia tidak berhenti sampai situ. Neraka
sering dijabarkan sebagai api penyucian, karena melalui api penyucian itu, dosa
manusia yang sudah meninggal akan dibersihkan, kemudian manusia yang sudah suci
itu pun masuk ke surga, dan menikmati segala yang ada di sana. Begitu pula dengan
keadaanku. Setelah dua hari yang melelahkan itu, setelah mental siap uji, maka,
di hari ketiga pula, aku mendapatkan manfaat dari perjuanganku selama dua hari
itu pula. Namun, tantangan belum berhenti menghadang. Seperti biasa,
seolah-olah, alam ini selalu mempunyai ‘konspirasi’ untuk menguji coba mental
manusia untuk menghadapi tantangan.
Pada waktu itu, hari mulai pagi. Aku bangun pagi, lalu
berangkat untuk mandi. Oke, lebih tepatnya, aku dibangunkan pagi-pagi, lalu aku
berangkat untuk mandi. Dengan suasana yang begitu segar, aku keluar dari kamar
mandi untuk berganti baju. Saat itu, hari Minggu, aku tugas, atau lebih
tepatnya, aku diminta tugas bermain musik biola, mendampingi koor dan organ,
mengiringi misa Mingguan pada jam 07.00 di Kapel Bintang Samudera. Tentu saja,
kami menerimanya, karena kami tidak pernah menolak tantangan. Jumat kemarin,
kami, aku, organis, dan koor, latihan di salah satu rumah anggota koor, setelah
pulang dari gladi bersih konser Taman Budaya yang sudah akan dilaksanakan hari Sabtu pada jam enam. Namun, karena kita
membicarakannya setelah hari Sabtu, maka, konser itu sudah selesai dan berjalan
dengan cukup mulus.
Akhirnya, kami berangkat pada jam enam lewat lima menit,
untuk mengantisipasi kemacetan yang menghadang di jalanan. Pada jam setengah
tujuh, kami sudah sampai di Kapel Bintang Samudera. Dengan segera, aku membuka stand-part, biola, dan
perlengkapan-perlengkapan yang lainnya. Ketika aku selesai membuka semua
peralatanku, yang dibantu dengan bapakku, temanku yang menjadi organis datang.
Tentu saja, ia lebih tua dariku sekitar 5 sampai 6 tahun, sehingga bisa aku
anggap, dia organis yang cukup senior di kalangannya. Namun, tantangannya mulai
muncul di sini. Ketika aku mengecek teks-teks yang ada, aku terkejut karena
mengingat bahwa teks-teks yang salah ketukan maupun kunci dasar belum diprint
ulang. Aku meminta bapakku untuk mengeprint, dengan file di flashdish yang dibawanya, namun bapakku
menyatakan bahwa ia tidak bisa mengeprint. Tidak ada waktu sama sekali..
Beberapa menit lagi, jam menunjukkan pukul tujuh, yang artinya, misa sudah akan
dimulai. Tidak ada alasan bagiku untuk menyalahkan Bapakku. Aku tidak
membujuknya lagi. Diam-diam aku mempunyai rencana cadangan di kepalaku.
Karena aku tidak mempunyai teks lagu pembukaan, maka aku
tidak memainkannya. Kemudian, muncullah lagu antar bacaan yang seharusnya
dikoreksi. Kali ini, teks juga tidak ada di hadapanku. Aku, tentu saja, sudah
tahu, di bagian mana aku harus bermain, dan bagian mana yang mestinya telah aku
perbaiki. Malam sebelumnya, di tengah kepenatan puncak sehabis pentas di Taman
Budaya, aku sudah memperbaiki teks yang sama. Maka, aku olah kembali dalam
pikiranku, lalu ku koreksi ulang secara instan dengan pikiranku itu. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku mencoba main musik tanpa partitur! Hal
yang sama aku lakukan pada teks yang lain yang memang menjadi kesalahanku.
“Bukankah partitur yang kemarin kamu buat tidak jadi
diprint? Kok tadi kamu jadi main?” Mama bertanya. “Lho Mama kok tahu?” aku
berganti bertanya. “Tadi suara permainan biolamu cukup terdengar bagus. Mama
cuma heran saja, kok kamu bisa main tanpa partitur,” lanjut Mamaku yang memang
sangat perhatian itu.
“Nah itu lah yang membuat aku sendiri heran,” jawabku. “Aku
ternyata sudah mulai bisa sedikit-sedikit main tanpa partitur!”
Bermain musik butuh keterampilan baca not, kepekaan terhadap
nada-nada, dan perhatian penuh pada ketukan. Dengan kata lain, main musik
merupakan gabungan seni dan matematika. Bukan hanya itu saja, main musik juga
butuh keberanian untuk ambil resiko. Hari ini, aku sudah berani belajar ambil
resiko. Tentu, permainanku masih jauh dari sempurna. “Langkah-langkah sekecil
apapun, perlu dinikmati, dan disyukuri,” itu lah pesan dari Bapakku yang
senantiasa aku ingat.
Comments
Post a Comment