Sukarelawan yang "Disegani"
Yang namanya pengalaman, kita selalu mengalami setiap waktu
di dalam kehidupan kita. Namun, semua pengalaman itu tidak selalu unik jika
ditulis dalam bentuk cerita. Itulah halangan kami sehari-hari. Tetapi, kami
mampu membuat pengalaman yang biasa itu menjadi pengalaman yang unik dan
menyenangkan. Mengapa? Karena kami terbiasa dengan hal itu. Hal-hal biasa, atau
pengalaman biasa, kami ambil keunikan yang belum tentu diperhatikan orang lain.
Contohnya kemarin. Selama berangkat sekolah sampai pulang sekolah, tidak ada
sama sekali keunikan yang muncul. Setelah pulang sekolah, baru
keunikan-keunikan kecil muncul dari pengalaman kecil kami ini.
Seperti biasa, setelah pulang sekolah, aku selalu mempunyai
kewajiban menulis cerita. Satu jam kemudian, cerita selesai ditulis olehku. Cerita
itu berjudul Suapan tanpa Ketulusan. Begitu selesai, seperti biasa, aku
langsung bermain game dengan asyik. Namun, belum selesai bermain game, guru
privat matematikaku, Mbak Ari, datang. Akhirnya, dengan senang hati, aku
menutup gameku dan belajar matematika selama beberapa jam. Kenapa senang? Karena,
semua pelajaran matematikaku yang sulit, selalu mudah di tangan Mbak Ari. Namun,
sayangnya, pelajaran matematikaku terpotong dengan latihan. Latihan apa? Latihan
organ. Jadi, ceritanya, besok Minggu, aku akan mengiringi misa Mingguan di
Gereja Kotabaru. Namun, tentu saja, aku tidak sendirian. Aku ditandemi, alias bermain organ bareng
bersama temanku yang istilahnya lebih ‘senior’.
Jadi, mau tidak mau, kami tentu saja harus pergi latihan.
Keanehan pertama adalah nama tempat latihan koor yang kami
kunjungi. Daerah yang kami kunjungi tersebut berada di sisi barat UGM. Nama daerah
itu, kalau dipikir-pikir terdengar aneh. Nama ini menimbulkan kesan jijik, dan
bahkan tidak sopan. Apa yang muncul dalam kepala Anda ketika melihat tulisan “SENDAWA”?
Dalam tradisi Jawa, sendawa (atau antop) yang mengeluarkan bunyi dinilai
sebagai suatu bentuknya rendahnya peradaban! Nah, tempat yang kami kunjungi
semalam itu bernama “SENDAWA” ini. Namun, sebenarnya kami tidak terlalu lama
untuk memahami cara membaca tulisan tersebut. Oleh karena itu, bolehlah kami informasikan
kepada khalayak umum di seluruh penjuru dunia, bahwa ternyata cara membaca
daerah Sendawa itu tidak sebagaimana kata itu dituliskan. Dua suku kata terakhir
yang dituliskan a dan a, dibaca sebagai o dan o. Jadi kata itu dibaca /sendowo/,
bukan /sendawa/.
Keanehan kedua justru ketika latihan koor sudah berakhir. Latihan
koor itu sendiri tidak bisa dikatakan bagus-bagus amat. Koornya masih kacau,
terutama karena pembagian empat suara (sopran, alto, tenor dan bas) sepertinya
terlalu dipaksakan. Lebih parah lagi, aku belum terlalu ahli dalam lagu-lagu
yang dinyanyikan. Apalagi notasi angka yang dipakai membuatku pusing tujuh
keliling. Bagi pemusik, jauh lebih nyaman memakai notasi balok! Lalu anehnya di mana? Anehnya justru berasal
dari pernyataan Bapakku. “Wow, kita menjadi sukarelawan yang disegani di sini!”
katanya, sesaat pada waktu kami sudah berada di dalam mobil.
“Kok?” tanyaku penuh rasa ingin tahu. “Aku pikir mereka
menerima kita tanpa suatu penghormatan khusus,” lanjutku. “Kamu tahu kan arti
disegani? Dalam Bahasa Indonesia, kata disegani memiliki akar kata segan.
Nah, ini disegani dalam Bahasa Jawa.
Akar katanya sega atau nasi,” lanjut
Bapakku. Ya, malam itu kami memang mendapat oleh-oleh berupa nasi bungkus. Kami
sukarelawan dari Kalasan, datang untuk membantu koor di Sendawa, dan diberi
nasi (Bahasa Jawa: disegani). Mengingat itu, bapak menjadi teringat pada
jaman dulu.
Dulu, pada
pertengahan 1990-an, sewaktu Bapakku masih muda, keterlibatan dalam koor
menjadi salah satu hal favorit. Mengapa? Apakah memang karena suaranya yang
bagus? Jujur saja, suara Bapakku memang tidak terlalu jelek. Namun bukan itu
motivasinya. Ikut koor lebih karena biar ada tambahan asupan! Lho kok bisa? Ya
bisa lah! Karena waktu itu, waktu Bapak kuliah S1, yang namanya uang saku
sangatlah minim. Bagaimanapun juga Bapakku harus cukup kreatif untuk menemukan
cara bertahan hidup. Mengikuti koor adalah salah satu cara untuk mendapatkan
makanan tambahan. Ya, makhlum lah, di masa-masa yang serba sulit, justru
orang-orang kadang menjadi lebih kreatif. Begitu kata bapakku suatu waktu.
Kekurangan memang bukan alasan untuk merasa rendah diri atau minder. Namun,
kesemuanya itu mesti dinikmati. Begitu lanjut bapak berteori. Maka, aku sekarang ini melanjutkan tradisi Bapak waktu muda dulu, yaitu menjadi “sukarelawan
yang “disegani.”
.
Comments
Post a Comment