Candi Borobudur (2)

(Lanjutan dari yang pertama)

Di depan kami, ada tangga. Tentu saja tangganya bukan buatan wangsa Syailendra  jaman dahulu, namun buatan modern. Kami pun naik dengan hati-hati, karena banyak orang yang foto-foto di tangga. Setelah sampai di perhentian pertama, kami pun berhenti sejenak, meletakkan payung kami yang sedari tadi kami bawa, dan berfoto di situ. Candi Borobudur memang terkenal dengan kebesarannya, sehingga kami bisa berfoto sepuasnya di manapun. Tentu saja, dengan memperhatikan keselamatan. Setelah puas berfoto, kami naik melalui tangga itu lagi. Kami pun sampai di bagian candi yang pertama. Namanya Kamadhatu. Tentu saja bagian pertama, yaitu Kamadhatu, ada dua tingkatan dan berbentuk bujur sangkar. Nah, waktu itu, kami sampai di tingkatan pertama. Kami berfoto-foto di situ. Relief yang ada di dinding candi sangatlah bagus. Kami menemukan banyak relief seperti kapal, manusia-manusia yang sedang melakukan aktivitas, bahkan relief kepala raksasa yang ada di sudut candi. Setelah puas melihat relief dan berfoto-foto, kami pun naik ke tingkatan dua. Reliefnya hampir sama, di sudut-sudutnya ada relief kepala raksasa juga. Hanya saja, relief yang berbentuk cerita berbeda walau hampir sama. Jika relief itu dipelajari dengan teliti, pasti menghasilkan susunan cerita yang menakjubkan.

Sekarang kami mencapai bagian kedua, yaitu Rupadhatu. Ada lima tingkatan dalam bagian ini, dan bentuknya masih bujur sangkar. Sebenarnya ada perbedaan pada tingkat yang ini, namun tidak signifikan. Kami pun berfoto-foto di lorong-lorong candi borobudur. Setelah puas berfoto, kami naik lagi. Tibalah kami di Arupadhatu. Inilah bagian yang paling berbeda. Berbentuk lingkaran dan bertingkat tiga. Ditambah dinding yang polos tanpa relief. Itu melambangkan tentang ketidak berwujudan di agama Buddha. Memang, di bagian ini, dilambangkan sebagai tempat bersemayam para dewa. Total ada 72 stupa di bagian ini. Kami pun melihat stupa-stupa itu. Dan kami pun melihat pemandangan yang sangat indah. Aku pun menyadari, betapa tingginya kami berada. Serasa setinggi gunung. Di puncak, ada stupa induk yang besar. Dan pada waktu itu, kami menyadari, perjalanan kami berakhir sampai situ. Setelah selesai dengan kepentingan kami, yaitu berfoto-foto, atau bahasa halusnya, mendokumentasikan liburan, kami pun turun dengan hati-hati. Kami memang tidak langsung pulang. Namun kami berfoto-foto dahulu di kompleks candi.

***


Pemandangan di kompleks Candi Borobudur ternyata lebih indah dari yang kami duga. Membuat kami betah berlama-lama di situ. Menerapkan seni fotografi, kami pun berfoto di dekat tempat duduk. Namun fotonya tentu bukan foto biasa. Tetapi foto indah. Foto yang dibuat menggunakan seni fotografi. Dari kami bertiga, orang yang paling menguasai seni fotografi adalah ayahku. Aku mencoba mencontoh ilmu fotografi. Hasilnya lumayan bagus. Namun, tidak lama kemudia, kulitku muncul bentol-bentol. Ternyata kulitku terkena ulat bulu. "Yah, ini sembuhnya berapa lama? Bu, ini bagaimana proses sembuhnya?" Aku terus memberondong kedua orangtuaku dengan berbagai pertanyaan sambil menggaruk kulitku yang gatal. "Eh, jangan menggaruk kulit terus. Kamu tadi mengambil foto di daun-daun. Jadi kulitmu kena ulat bulu. Nanti sembuh sendiri kok," nasihat ibuku. Aku menuruti nasihatnya. Memang, dalam hal itu, ibukulah sang maestronya.

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT