Suapan tanpa Ketulusan

Seperti keluarga yang lainnya, tentu saja, kami adalah keluarga yang biasa-biasa saja. Keluarga yang bisa dibilang wajar-wajar saja. Keluarga kami memiliki siklus tidur, bangun, makan, melakukan berbagai kegiatan, makan, dan seterusnya. Sama seperti keluarga yang lain. Namun, kadang ada ketidak-wajaran dari keluarga kami. Apa? Wah, tentu terlalu banyak kalau hendak disebut satu per satu.  Hanya satu saja yang akan dibahas dalam cerita ini.

Bagi sejumlah keluarga, makan malam identik dengan mencari warung makan, atau rumah makan, dan langsung menikmati makanan di sana. Bagi kami, cara makan malam dengan cara itu sangatlah jarang. Kami hampir selalu memilih untuk makan malam di dalam rumah. Dan kami pun bisa dikatakan tidak terlalu kreatif untuk cari makan malam. Paling-paling kami hanya cari terong crispy pedas, tempe goreng, maupun pecel lele. Kadang ayam goreng. Mama biasanya sudah menyiapkan nasi di rumah.

Kali ini kami agak berbeda. Kami, tentu saja, akan makan malam bersama di luar rumah. Namun kami tidak makan pizza, hamburger, maupun hotdog. Tentu saja tidak. Kami akan memakan mie godog. Yup, makanan yang sederhana, namun enak dan mengenyangkan bagi kami sekeluarga. Di mana? Nah, itu berada di daerah yang lebih Kotagede. Bagi kami, mie godog Jawa berasa lebih mengenyangkan daripada sebuah pizza, hamburger, maupun hotdog.

Begitu sampai di lokasi, kami masing-masing memesan makanan yang kami inginkan. Aku dan ibuku ingin mie godog, bapakku dan kakak sepupuku yang ikut menginap di rumahku memesan nasi goreng Magelangan. Soal minuman, itu sudah pasti. Aku dan ibuku memesan es jeruk, kemudian bapakku dan kakak sepupuku memesan es teh. Kami menunggu lama, sambil bercanda-canda. Kursi dan meja untuk pelanggan ternyata sudah penuh dengan orang-orang yang juga kelaparan seperti kami. Terpaksa, kami harus duduk di tikar yang sudah disediakan. Sayangnya, tidak lama kemudian gerimis turun perlahan. Kami terpaksa masuk untuk makan di dalam.

“Mie godog Jawa,” kata Mama, “memang butuh dimasak secara khusus. Satu porsi demi satu porsi. Itu untuk mendapatkan hasil yang enak.” Mama sedikit berteori. Perutku sudah tidak sabar menunggu. “Itu yang membuat kita menunggu lama,” lanjutnya. Maka, dengan sabar, walaupun perut ini sudah keroncongan, aku menunggu pesanan datang. Itu masalah pertama. Masalah kedua, pesanan nasi goreng Magelangan datang terlebih dahulu. Itulah yang cukup meresahkan hatiku. Melihat diriku yang gelisah, tampaknya Bapak merasa jatuh hati. Dengan segera dia menyodorkan satu sendok ke depan mulutku. Tanpa pikir panjang, aku pun segera menyerobotnya. “Hm, enak,” sahutku, di tengah-tengah kunyahan demi kunyahan makanan. Hanya dalam waktu yang tidak lama, aku sebenarnya tidak lagi “mencicipi.” Tapi lebih tepatnya “menikmati.” Tanpa aku sadari, Bapakku telah menyuapi diriku leibh dari lima sendok!

Akhirnya, pesanan mie godog pun datang. Aku dan ibuku yang sedari tadi menunggu pun segera makan dengan lahap. Ternyata, bapakku sepertinya tidak begitu tulus ketika memberiku suapan demi suapan dari nasi goreng Magelangan yang dipesannya. Tampak dari ekor matanya, dia sebenarnya menghendaki diriku tidak menghabiskan mie godogku ini. Namun, karena perutku memang sedang super-keroncongan, mie godog itu yang penuh itupun habis dalam sekejap.
Tapi, harapan itu meletus sia-sia bagaikan balon yang terlalu penuh diisi angin. Untungnya, Mama, yang memang pandai membaca wajah suaminya, memilih untuk tidak menghabiskan mie rebusnya. “Rio tidak menyentuh makanan sejak siang tadi. Wajar bila dia menghabiskan mie rebusnya malam ini,” katanya sambil menyerahkan sepertiga mie rebus yang disisakan untuk suaminya, yang tentu saja adalah Bapakku!

Inilah kejadian “tidak wajar” yang kami nikmati semalam. Kami pulang dengan perut penuh. Di satu sisi, makan malam di luar rumah bisa menjadi kesempatan bagi kami untuk menyegarkan diri dalam tawa bersama. Namun, di lain pihak,  aku sebenarnya merasa agak menyesal karena terlalu mengesampingkan Bapakku. Perutku terasa berat, dan aku agak kesulitan duduk di dalam mobil. Untung saja, mobil kecil kami hanya diisi oleh empat orang, sehingga masih ada cukup ruang bagiku sedikit merebahkan badan.

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT