Tetap Beruntung Dalam Ketidakberuntungan
Yang namanya sekolah, itu selalu menuntut kedisiplinan
siswa-siswinya. Mengapa? Karena, di Indonesia ini, banyak sekali anak yang
tidak tertib. Mengapa demikian? Tentu ada banyak alasan yang menghalangi mereka
datang tepat waktu. Tidak sedikit juga anak yang tidak tertib karena
kecerobohan mereka. Kali ini, aku menceritakan keterlambatanku pergi ke
sekolah. Bukan karena kecerobohan, atau bangun kesiangan. Penyebabnya beda dari
yang lain. Pada waktu itu, hari masih benar-benar subuh. Jam dinding
menunjukkan pukul 4.40, ketika aku dibangunkan oleh kedua orangtuaku. Dengan
mataku yang masih berat, aku bangun dari tempat tidur untuk mandi. Dengan
segera, setelah keluar dari kamar mandi, aku berganti pakaian dengan rapi. Mataku
sudah tidak berat lagi, aku sudah siap untuk melayani.
Melayani apa? Setiap hari Selasa dan Rabu, jam setengah
enam, aku melayani umat-umat pada misa harian di Gereja Kotabaru. Dengan apa?
Tentu saja dengan mengiringi misa memakai alat musik yang bernama ‘organ.’ Yang
dimaksud organ itu jelas bukan organ dalam maupun organ luar manusia atau
hewan, namun organ alat musik. Organ itu jenis alat musik seperti keyboard
maupun piano. Hanya saja, organ itu mempunyai keunikan tersendiri, yaitu ada
tuts tambahan di bawah. Tuts tambahan di bawah dipencet oleh kaki kita,
sehingga sering disebut bas kaki. Cara memainkannya pun ada ilmunya tersendiri.
Ilmunya, tentu saja, tidak bisa dijabarkan di sini. Oke, intinya adalah, setiap
hari Selasa dan Rabu tersebut dan pada jam tersebut, aku selalu diantar oleh
kedua orangtuaku ke Gereja Kotabaru. Jangan salah kira, jarak dari rumahku ke
Gereja Kotabaru tidak dekat. Apalagi, semakin siang, jalan semakin macet,
sehingga perjalanan bisa memakan sekitar setengah jam, bahkan sampai satu jam
jika macetnya parah. Namun, karena kami berangkatnya subuh, maka tidak banyak
kendaraan yang dapat membuat macet, sehingga waktu perjalanan dapat
dipersingkat menjadi 15 menit saja. Sebenarnya tidak ada yang mengagumkan untuk
sampai di Gereja Kotabaru. Soalnya, bapakku sudah cukup mahir dalam mengendarai
mobil.
Begitu sampai di lokasi, kami segera turun untuk memulai
pekerjaan kami masing-masing. Biasanya, misa berjalan cukup pendek, yaitu
setengah jam. Artinya, kami kembali dari Gereja jam 6.00. Sampai rumah tidak
lebih dari 6.15. Itu artinya, perjalanan lancar, dan ada cukup waktu transisi
sebelum berangkat ke sekolah. Namun
entah kenapa, hari ini unik, karena halangan demi halangan mulai mengganggu
kami. Pertama, ketika tadi komuni pada saat misa, umatnya begitu banyak untuk
ukuran misa pagi. Bahkan, romo yang dibantu oleh dua prodiakon tetap kerepotan
menghadapi banyaknya umat.
Itu hal pertama. Kedua, ketika kami sudah di dalam
mobil dan mulai berjalan, bapakku baru sadar, bahwa bensin tinggal satu grid.
Kami, tentu saja, harus mampir ke pom bensin agar tidak macet di tengah jalan.
Belum, ketika di rumah, ibuku membuatkan Energen dengan suhu yang membuat
lidahku kepanasan. Kalian pasti tahu, di serial sebelumnya, Energen adalah
sumber energi padaku.
Begitu kami berangkat, jam sudah menunjukkan pukul 6.40.
Aku, tentu saja, terlambat pergi ke sekolah. Untungnya saja, aku mempunyai
teman yang bernasib sama. Peraturan di sekolahku, siapapun yang terlambat harus
meminta dispensasi dari Bu Kepala Sekolah supaya dapat masuk kelas. Kami
menyadari, itulah satu-satunya jalan. Ketika kami meminta dispensasi, begitu
mengejutkan bahwa kami dibolehkan masuk tanpa surat dispensasi. Mungkin itu
disebabkan karena kami masih dalam masa PLS. pokoknya, di dalam
ketidakberuntungan, selalu ada saja solusi dan pemecahannya. Itu lah kisahku
hari ini.
Comments
Post a Comment