Misteri Peri Rumah

Selama hidup kita, kita pasti akan mengalami kejadian unik dan aneh. Dan, menurutku, kejadian unik ini bisa dibagi menjadi dua. Kejadian unik di dalam kendali kita sendiri, dan kejadian unik di luar kendali kita. Tentu, sesuai istilahnya, kejadian unik di dalam kendali tentu saja kejadian yang dapat diperbaiki atau ditelaah oleh manusia. Namun, kejadian di luar kendali, tentu saja kejadian yang tidak masuk akal dan tidak dapat dipecahkan manusia. Di cerita ini, kita akan membahas tentang kejadian unik yang tidak masuk akal. Omong-omong, berbagai kejadian di cerita ini terjadi saat liburan tengah tahun.

Waktu liburan memang menjadi salah satu waktu yang paling menyenangkan. Tepatnya, itu merupakan waktu yang memungkinkan diriku memiliki lebih banyak kebebasan. Bebas menggunakan waktu untuk bermain. Kedua orang tuaku memang memberikan keleluasaan bagi diriku untuk menikmati waktu kebebasan macam itu. Tentu waktu bermain bukan tanpa batas. Kadang, setelah sementara waktu aku bermain, orang tuaku mengingatkanku untuk berlatih musik. Suatu siang, setelah beberapa waktu bermain, ibuku pun memberi peringatan padaku untuk bermain organ.

 “Rio, ayo, latihan organ.” Dengan agak gontai, aku berkata, “Oke.” Maklum, di tengah liburan, kegiatan-kegiatan seperti itu lebih susah dilakukan karena malas. Itu salah satu efek libur. Dengan segera, aku mencari part yang seharusnya dibaca. Tapi, ada keanehan dalam pencarian itu. Part yang harusnya dibaca menghilang entah kemana. Atau mungkin, lebih tepatnya ‘ketlingsut.’ Bahasa Jawa yang khas itu memang masih sering dipakai di daerah Jawa. “Nggak ada ma, partnya,” jawabku dengan keheranan, setelah mencari part di mana-mana. ”Ha? Dibawa sama siapa? Kan di sini juga nggak ada pencuri yang masuk,” tegas ibu. Dia mencari dengan muka sedikit marah, karena ibuku pikir, akulah yang menghilangkan part berharga itu.

Namun, nyatanya, part itu tidak diketemukan dimana-mana. Di dapur tidak ada. Begitu pula dengan tempat tidur, halaman rumah, lantai dua, semuanya tidak ada. “Wah, ini ada sesuatu yang tidak beres,” ujar ibuku. Apa yang dikatakan oleh ibuku itu cenderung benar. Kenapa? Karena, ada tiga alasan yang diambil dari fakta. Pertama, jika aku menghilangkan part itu, pasti cepat atau lambat akan diketemukan. Soalnya, aku juga membawa part tersebut ke  lantai dua rumah kami maupun ke halaman rumah. Jadi, faktanya, aku mestinya meninggalkan part itu di dalam rumah di tingkat bawah. Kedua, tidak ada orang di sekitar kami. Yang di rumah ya hanya kami bertiga: aku, ibuku dan ayahku. Ketiga, pencuri, siapapun itu, tidak akan  masuk ke dalam rumah hanya untuk mengambil part organ yang bisa jadi tidak berguna baginya. Tidak ada satu pun barang berharga yang lenyap. Jadi tidak ada logika yang menjelaskan bahwa seorang pencuri telah menyusup masuk. 

Jadi, di manakah benda itu. Atau, siapa yang mengambilnya? Kemungkinan terakhir, yang paling akhir, yang mencurinya adalah seorang, sebuah, atau seekor makhluk halus yang nakal. Itupun hanya dugaan kami. Mengapa hanya sekedar dugaan? Jelas, kami bertiga sama sekali tidak memiliki indra keenam untuk mendeteksi kehadiran makhluk halus lain. Dari berbagai sumber yang berhasil dikumpulkan Bapakku, memang banyak teman kantor yang memiliki pengalaman aneh, unik, dan tidak jarang membuat bulu kuduk berdiri. Nah, kami pun hanya heran saja. Kami hanya menemukan pengalaman aneh, namun sama sekali tidak ada yang membuat bulu kuduk kami berdiri. Semuanya berjalan tanpa suasana mencekam sama sekali.  Akhirnya, setelah beberapa hari tidak mendapat jawaban, akhirnya hanya ada dua pilihan tersisa. Pertama, ada saran dari seorang rohaniwan. Kami diminta berdoa bersama, dan mendoakan apapun, siapapun, baik yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, demi kebaikan bersama. Juga bagi jiwa-jiwa orang yang meninggal dan belum terselamatkan. Itu kami lakukan. Kedua, mengingat bahwa partitur itu sangat berharga dan harus segera dipakai, Bapakku tidak punya pilihan lain kecuali membelikan gantinya. Buku partitur warna putih yang lenyap pun akhirnya mendapat gantinya.

Buku partitur warna putih itu pun akhirnya menemani aku bermain organ. Namun, tidak terlalu lama kemudian, buku partitur warna coklat ikut-ikutan lenyap. “Waduh, doa kita tidak manjur,” begitu seruku, seakan memprotes keanehan di luar kendali ini. Dalam kedongkolan kami, akhirnya aku meminta bantuan Bapakku untuk mencari buku tersebut di laci yang telah lebih dari enam bulan kami buka. Laci di almari tersebut sangat sulit untuk dibuka.  Dengan bergeleng-geleng, Bapak tampaknya enggan membantu. Namun, dia sepertinya tidak mau mengecewakan diriku. Dengan berat hati, dia bersusah payah untuk membuka laci yang sangat sulit untuk dibuka tersebut. Dan hanya dalam sekejap, misteri itu pun terpecahkan. Kedua buku itu berada di tumpukan bawah, di antara buku-buku di laci yang tidak pernah dibuka dalam enam bulan terakhir.
Itu lah keanehan di luar kendali kami. Mungkinkah kami ditemani Peri Rumah yang menghendaki didoakan?

(Misteri Peri Rumah Part 2)

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT