Sesuatu yang Nangkring dan Menjijikkan
Pada serial sebelumnya, kita membahas tentang hari pertama
sekolah. Omong-omong, sekolahku itu agak aneh daripada yang lain. Kenapa?
Karena, setiap selesai libur panjang, sekolahku selalu mengadakan MOS, atau
Masa Orientasi Sekolah. Sekarang, istilah itu diganti oleh peraturan menteri
menjadi PLS (Pengenalan Lingkungan Sekolah). Padahal kan, PLS itu hanya
dilaksanakan untuk siswa kelas satu yang belum benar-benar mengenal sekolahnya
yang baru, yang dilaksanakan selama tiga hari. Namun, itu tidak menggangguku.
Itu justru membuat pengalaman asyik tersendiri bagiku. Contohnya, pada hari
kedua waktu aku dan teman-temanku masuk sekolah. Pengalaman kami juga tak
tergantikan pada hari kedua itu.
Ketika mengalami masa PLS, kami lebih sering mengenal
sekolah daripada belajar serius. Tapi aku mempunyai pengalaman unik sendiri
yang hanya dialami olehku. Seperti biasa, karena tulisanku yang rapi
dibandingkan dengan teman-teman laki-lakiku yang lain, maka aku sering disuruh
menulis berbagai macam hal yang dapat membantu guruku. Kebetulan, guruku itu
tidak baru dan dulu pernah mengajarku pada kelas lima. Jadi, relasi kami, aku
dan teman-temanku kepada beliau lebih nyaman. Pada pengalaman kali ini, aku
disuruh oleh guruku, untuk melabeli SPP dengan nama masing-masing siswa, nomor
absen mereka, nama SD, dan berbagai label yang lain yang tidak bisa disebutkan
di sini.
Sebagai informasi, jumlah siswa di kelas B ada 27 anak, begitu pula
dengan kelas sebelah.
Nah, artinya, aku harus menulis label-label itu yang
jumlahnya beberapa dalam 27 kali. Itu tidak memberatkanku, karena aku sering
disuruh oleh guruku untuk kepentingan-kepentingan seperti itu. Namun, aku tidak
langsung selesai menulis itu. Kadang-kadang melakukan apa yang disuruh guruku
kepada teman-temanku yang lain. Apa tugasnya? Menulis visi dan misi, menulis
contoh perbuatan yang harus dilakukan dari visi dan misi. Kadang-kadang, guruku
juga memastikanku dan teman-temanku tentang buku-buku yang harus dibeli. Hari-hari
biasa di masa PLS
“KRING……………..” Bel berbunyi, yang menandakan istirahat sudah
dimulai. Salah satu temanku memimpin doa. Lalu, setelah doa kami selesai, maka
hampir semua anak keluar untuk jajan. Ada yang bermain, ada pula yang hanya
duduk saja. Seperti biasa, aku mengumpul bersama teman-temanku yang biasa
menemaniku untuk makan. Mereka tidak hanya menemaniku. Mereka juga ikut makan
bekal mereka. Sedikit sekali anak yang membawa bekal dari rumah. Kebanyakan
dari mereka diberi uang saku oleh orangtua mereka. Aku, entah kenapa, tidak
pernah diberi oleh ibuku uang saku. Jadi, sebagai gantinya, ibuku membekali
diriku dengan makanan yang sudah disiapkan dari rumah. Bekalnya selalu
istimewa, atau lebih tepatnya, selalu aku anggap istimewa, karena apapun bekal
yang disiapkan oleh ibuku, selalu aku makan sampai habis.
Ketika sudah selesai makan, aku lalu pergi ke toilet. Begitu
aku sampai di WC, ada pemandangan yang
sangat menjijikkan. Ada muntahan atau kotoran manusia, atau apalah. Untuk
memperhatikan dan mengidentifikasi benda apa itu, aku sama sekali tidak tahan.
Yang pasti, wujudnya begitu jelek. Begitu jeleknya, tidak bisa diidentifikasi apa
yang sesungguhnya nangkring di WC
tersebut. Benda tersebut begitu menjijikkan, sehingga aku keluar untuk ganti
toilet, dengan perasaan yang teraduk-aduk.
Soal kebersihan, atau kepedulian untuk berperan dalam
menjaga kebersihan, adalah salah satu persoalan yang paling sulit untuk
dipecahkan. Itu terjadi di mana-mana, dan tak terkecuali di sekolah. Para guru
memang tidak segan-segan membuat kami berlatih untuk menjaga kebersihan di
sekolah. Kami tidak dimanja. Secara berkelompok kami mendapat tugas untuk
menjaga kebersihan: menyapu lantai, membersihkan meja, menghilangkan jaring
laba-laba, dan yang lainnya. Namun, tampaknya kepedulian terhadap kebersihan
belum tentu menjadi kebiasaan baik. Ini lah alasan mengapa aku menemukan
sesuatu yang nangkring dan
menjijikkan di WC sekolah.
Comments
Post a Comment