Candi Borobudur (1)

Nyepi. Dimana pada hari itu, orang yang beragama Hindu, diminta, atau memang kewajiban mereka, untuk berdiam diri di rumah. Dan pada hari itulah, hampir keseluruhan sekolah di Indonesia libur. Tentu saja, untuk menghormati orang Hindu. Apalagi, anak-anak yang beragama Hindu memang harua berdiam diri di rumah juga, tidak bersekolah. Terlepas dari semua itu, tentu saja, sekolahku juga libur. Maka, tentu saja, aku bisa bangun seenakku sendiri.

Walaupun bisa bangun seenakku sendiri, naluri alami membuatku bangun tidak terlalu siang, bahkan masih pagi. Jam menunjukkan pukul 7 ketika kami sekeluarga berbincang-bincang. Secara singkat saja, karena itu hanya akan membuat cerita ini menjadi panjang lebar dan tidak menyenangkan. Ibuku mengusulkan kami pergi ke borobudur. Tentu saja aku setuju. Mau tidak mau, dan kali ini pasti mau, ayahku akhirnya setuju mengantar kami sampai Candi Borobudur. Kebetulan, cuaca yang cerah sangat mendukung kami. Akhirnya kami tidak membuang waktu lagi, dan langsung mandi.

***

"Ini, kamu bawa payung. Topimu dipakai ya," kata ibuku seraya menyerahkan payung putih bergambar not balok. Sementara itu, ayahku memakai payung berwarna putih polos, dan ibuku memakai payung berwarna abu-abu. Setelah selesai membagi-bagikan payung, ayahku menutup bagasi dan mengunci mobil. Dengan segera, kami membuka payung dan melindungi diri kami sendiri dari panas matahari. Sementara itu, aku memakai tambahan pelindung, yaitu topi. Ketika kami selesai dengan hal-hal yang seperti itu, kami pun mulai berjalan. Dari parkiran mobil sampai ke gerbang pembayaran.

Setelah mendapat kartu masuk dan menggeseknya pada alat tertentu, kami pun memasuki kompleks candi. Tempat itu sebenarnya adalah lapangan. Hanya saja ditanami conblok dan ditanami pepohonan. Benar-benar tempat yang sejuk, sehingga aku menutup kembali payungku karena tidak diperlukan. Pohon ditanam selang-seling membuat para pengunjung merasakan keteduhan alami. Sementara itu, di dekat kami, ada penyewaan sepeda. Sangat disayangkan, harga penyewaan itu mahal, sehingga kami tidak menyewanya. Kami pun melanjutkan perjalanan. Lapangan itu mempunyai satu jalan berconblok. Kami melihat jalan itu dan menapakinya untuk sampai ke Candi Borobudur.

Pemandangan di kanan dan kiri sangat indah. Tanah berumput yang bergelombang, di kanan jalan, membuat pandangan menjadi segar. Belum pohon-pohon yang ditanami di kiri jalan, membuat udara sejuk. Namun sayangnya, pohon itu tidak membuat keteduhan, sehingga payung yang kubawa harus kubuka lagi jika aku tidak ingin kepanasan. Sementara itu, di depan kami, ada Candi Borobudur yang megah, yang nampaknya semakin besar saja. Setelah berjalan agak lama, jalan bercabang menjadi dua. Sebelum percabangan, ada tempat penyewaan jarik. Kami bertanya-tanya, apakah kami memang seharusnya memakai jarik, karena banyak orang di sekitar kami memakai jarik. Akhirnya, ayahku bertanya kepada orang yang duduk di pinggir jalan. "Pak, apakah pengunjung harus menyewa jarik?" "Nggak pak. Itu khusus untuk orang yang pakai celana pendek saja," jawab bapak-bapak yang ditanya ayahku tadi dengan santainya. Akhirnya, setelah mengetahui hal itu, kami berjalan lagi dan sampailah di kaki Candi Borobudur.

(Bersambung ke seri kedua)

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT