Konyol Tanpa Mantol
Liburan memang penuh dengan kegiatan menghibur diri. Di
mana-mana, terdapat orang berwisata, mudik, dan bahkan, mereka melakukan
kegiatan berselancar di dunia maya. Tapi, kali ini, aku akan menceritakan
tentang kekonyolan kami, aku dan ibuku, dalam petualangan liburan kami. Pada
waktu itu, siang mulai digantikan sore hari. Aku dan ibuku akan berangkat ke
Taman Budaya, tempatku latihan bermain musik biola. Sebentar lagi, tanggal 30 Juli,
Taman Budaya, terutama pada bagian musik dan menyanyi, akan pentas. Maka, kami semua
yang berpartisipasi dalam pentas itu harus latihan lebih keras lagi, sehingga
jadwal latihan ditambah, bukan hanya hari Minggu saja. Contohnya pada hari ini.
Omong-omong, setiap hari Minggu pada jam 10, Taman Budaya mengadakan latihan
rutin setiap kelompok seni.
Perjalanan kami berangkat dengan motor ke Taman Budaya cukup
tenang dan menyenangkan. Cuaca cerah, matahari bersinar terang, awanpun tidak terlalu
tebal. Kami tidak melewati jalan yang biasa kami lewati saat pergi ke Taman Budaya.
Kenapa? Karena, di jalan yang biasa kami lewati saat pergi ke Taman Budaya, ada
semacam kerusuhan dan perusakan yang dilakukan oleh salah satu kelompok. Kemungkinan
besar, di situ, jalan ditutup oleh polisi akibat kejadian yang cukup memalukan
itu. Tepatnya, demo dilakukan oleh saudara-saudara kita dari Papua. Intinya mereka
menuntut kemerdekaan. Mereka mau mengubah kesepakatan sejarah. Kalau tidak
salah kesepakatan itu dikenal luas sebagai Pepera 1963. Aku dan ibuku sudah
diwanti-wanti oleh bapakku tentang hal itu, dengan menghindari Jl. Kusumanegara.
Oke, kembali ke pokok utama. Singkat cerita, aku dan ibuku sampai
di Taman Budaya dengan selamat, sehat walafiat, tanpa kekurangan satu apapun. Dengan
segera, aku bermain musik bersama teman-temanku di Taman Budaya selama hampir dua
jam. Setelah berlalu, aku mengemasi semua alat-alatku yang dipakai untuk
bermain musik biola, dan akhirnya keluar dari ruangan untuk pulang. Sesampainya
di luar, aku terkejut. Kenapa? Ternyata, di luar, cuaca yang tadinya bagus saat
kami berangkat, sekarang malah berkebalikan, seperti hitam dengan putih. Hujan
cukup deras, kilat menyambar-nyambar, tidak seperti dugaan kami. Lebih buruk
lagi, kami, aku dan ibuku, tidak membawa mantol sama sekali. Kami heran, cuaca seharusnya
masih musim kemarau. Terutama pada bulan April sampai Oktober. Belakangan aku
tahu, fenomena kelainan ini sering di sebut sebagai La Nina. Nama fenomena ini
hampir sama dengan satu fenomena yang lain, bernama El Nino. Ada kesamaan dari
kedua fenomena ini, namun dampaknya bisa jauh berbeda.
Apabila El Nino, mungkin, menyebabkan panas di atas yang
membuat kekeringan yang berlebihan, La Nina menyebabkan panas di atas permukaan
air laut yang membuat penguapan berlebihan. Tapi itu hanya perkiraan kami saja.
Jika ingin mengetahui penjelasan ilmiahnya, maka cek saja di sumber terpercaya.
Kembali ke pokok utama. Aku dan ibuku, pada waktu itu, juga ditawari oleh ibu
salah satu temanku di Taman Budaya, yang membawa mobil, untuk diantarkan ke
rumah kami. Namun ada kesulitan yang cukup pelik ketika kami menyetujui
tawarannya itu. Pertama, kami tidak tahu, di mana motor kami akan dititipkan.
Kedua, kemungkinan besar, di jalan, akan terjadi kemacetan yang sangat panjang
akibat arus balik mudik. Secara garis besar, menggunakan motor akan lebih
lincah dibandingkan menggunakan mobil.
Akhirnya, kami menolak tawaran itu, dan memutuskan untuk
menerobos hujan yang tidak begitu deras. Ketika dalam perjalanan, kami
menyadari, bahwa hujan yang kami kira cukup deras itu tidaklah separah yang kami
duga. Lagipula, kalau kami menunggu, hujan tidak akan reda-reda, dan kami akan
bosan menunggu.
Itulah sepotong pengalaman hari kemarin. Pengalaman konyol. Kami
sebenarnya sadar adanya anomali cuaca bernama La Nina. Namun, kami tidak sepenuhnya
sadar bahwa kami bepergian tanpa mempersenjatai diri dengan mantol.
Comments
Post a Comment