Sang Nabi Pemarah

Selama sekolah, kita pasti akan mengalami berbagai pengalaman, entah itu pengalaman biasa, menarik, atau bahkan menakjubkan. Kali ini, aku akan membahas pengalaman yang biasa aku alami, walaupun belum tentu semua anak mengalaminya, di sekolah. Pengalaman apa? Menjadi pembaca Kitab Suci. Stop! Yang dimaksud kitab suci di sini tentu saja bukan Al Quran, Weda, Wu Jing, maupun Tripitaka. Namun, yang dimaksud kitab di sini adalah Injil, Alkitab, atau the Bible. Suka atau tidak, selama tiga tahun terakhir, aku selalu menjadi spesialis baca Kitab Suci, tiap kali ada Perayaan Ekaristi di sekolah. Dalam tradisi Katholik, pembaca Kitab Suci mendapatkan sebutan Lektor.  Spesialis?

Awalnya aku tidak begitu tahu mengapa menjadi seperti ini. Tapi yang jelas, setiap kali ada lomba Lektor di sekitar Yogyakarta, aku selalu dikirim oleh SD Kansas, tempat aku bersekolah. Setiap kali mendapat penugasan itu, aku selalu mendapatkan tropi kejuaraan! Juara I. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa lho. Pertama, membaca adalah aktivitas favorit kami. Baik aku maupun Bapakku memiliki satu hobi yang sama, yaitu membaca. Kedua, hobi macam ini telah memberikan kami banyak hal, termasuk pengetahuan dan nilai seni.

“Baca Kitab Suci itu sama artinya dengan mempelajari sejarah kemanusiaan,” papar Bapakku yang suka berfilsafat. “Surat-surat Paulus tidak bisa dibaca tanpa memahami siapa sosok Paulus ini. Dia adalah sosok cerdas, pemberani, dan sebelumnya adalah tokoh utama yang menyerang kelompok Kristiani.”

“Nah, ini dirimu akan membaca Kitab Nabi Yeremia. Bapak pernah mendapat istilah dari Prof. Noah Sobe, waktu kuliah di Chicago. Tulisan-tulisan yang cenderung mengutuk kebodohan, atau kebebalan orang-orang di sekitarnya, disebut “Jeremiad.” Kenapa? Yeremia adalah nabi yang sangat keras dalam berkata-kata. Dia adalah pribadi yang mudah marah terhadap kebobrokan orang-orang Israel, yang katanya adalah Umat Pilihan itu.”

Dengan bekal pemahaman sedikit tentang sosok Nabi Pemarah ini, aku pun berlatih untuk membacakan Kitab Suci tersebut. Aku membayangkan bahwa Nabi Yeremia dikenal memiliki lidah yang tajam. Gaya bicaranya sangat lugas. Apa adanya. Bahkan,  pernyataan yang dibuat oleh dirinya sering kali justru memerahkan telinga. Sehingga, jika kita membaca kitab yang ditulis oleh Nabi Yeremia, nada yang kita ucapkan harus mengikuti sifat mendasar dari Nabi Yeremia tersebut. Kebetulan, bacaan yang akan aku baca itu juga menyangkut tentang Nabi Yeremia.

SD Kansas memang selalu mengadakan misa awal tahun sebagai pembukaan tahun ajaran baru, Tentu saja, petugasnya, seperti putra dan putri altar, merupakan siswa-siswi SD Kanisius Kalasan. Begitu pula dengan pembaca kitab suci, dan pembaca doa umat. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, aku memang mendapatkan penugasan untuk menjadi lektor ini. Kali ini, sesuai dengan karakter Nabi Pemarah, tentu saja, aku harus menampilkan emosi marah. Ada untungnya punya Bapak yang tidak saja memiliki hobi membaca dan menulis. Lebih untungnya lagi, bapakku punya bakat untuk mengajariku berekspresi seperti Nabi Yeremia. Karena itu, maka, pengalaman dan pengetahuanku bertambah.

Sesampainya di sekolah, aku langsung lari ke dalam kelas. Tak lama kemudian, bel masuk sekolah pun berbunyi. Namun itu bukan menandakan bahwa kami harus duduk rapi di dalam kelas, lalu memulai pelajaran. Bukan. Itu tanda, atau isyarat, bahwa kami harus berbaris dua dua, lalu berjalan pelan-pelan ke gereja mulai dari kelas satu. Begitu kami berbaris dua-dua, kelas satu pun mulai berjalan pelan-pelan.

Ada dua rute yang bisa ditempuh dari sekolah ke gereja. Pertama, rute jalan raya. Kami harus keluar dari sekolah, kemudian menyusuri jalan raya dan akhirnya masuk ke dalam gereja. Atau, rute kedua yang biasa kami pakai. Rute ini lebih aman, walaupun sedikit lebih mengerikan. Kenapa? Rute ini akan menuntut kami untuk melewati kuburan dengan tangga yang curam. Di rute ini, kendaraan jarang lewat. Yang lewat itu paling-paling cuma motor. Dan itu pun jarang sekali. Tiap lewat kuburan, kami tidak boleh berisik dan menunjuk-nunjuk seenaknya. Menurut mitos, perilaku macam itu ora ilok. Apakah mitos itu masih berlaku? Aku curiga, tampaknya mitos itu telah terkubur oleh zaman. Yang jelas, beberapa dari kami, dan aku terus-terang saja termasuk, seringkali tidak ambil pusing dengan mitos macam itu.


Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT