Perjalanan tanpa Insiden Berarti #02

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang kemah pramuka yang diselenggarakan oleh se-KSK Sleman Timur. Hal yang menggembirakan adalah, sekolah kami juga mengikuti acara tersebut, karena masih masuk dalam kawasan KSK Sleman Timur. Sungguh menyenangkan! Kami sudah pack semua barang yang akan kami bawa dan perlukan di perkemahan. Kami memang istimewa, karena kakak-kakak kelas 6 kami sebelumnya berkemah di Bumi Perkemahan Prambanan. Namun, untuk tahun ajaran kali ini, para penyelenggara “Kemah Galang 2017” memutuskan bahwa se-KSK Sleman Timur pada tahun 2017 akan berkemah di Bumi Perkemahan Jaka Garongan. Bumi perkemahan tersebut lebih jauh daripada Bumi Perkemahan Prambanan, lebih dingin, namun juga lebih menantang. Mengapa demikian? Karena Bumi Perkemahan Prambanan terletak lebih dekat dengan sekolah kami. Jika lebih dekat, otomatis suhu yang terdapat di sana juga sama dengan suhu di sekolahan kami. Apabila kalian ingin tahu, letak dari Bumi Perkemahan Jaka Garongan itu berada di Turi, yang berarti sudah memiliki suhu yang cukup dingin dan lebih jauh dari sekolah kami.

Namun, karena lebih jauh dan lebih dingin, maka otomatis kami lebih tertantang untuk mandiri. Apalagi jarak yang jauh membuat orangtua siswa lebih enggan mengunjungi Bumi Perkemahan tersebut, terkecuali yang benar-benar peduli terhadap anaknya. Oke, kembali ke topik utama. Dengan mobil kami yang kecil, ayahku mengantarku ke sekolah. Aku akan ikut mobil temanku, yang dalam artian temanku satu regu. Tidak hanya aku, namun beberapa temanku juga ikut mobil temanku tersebut. Setelah aku menginjakkan kaki di depan gerbang, terlihat bahwa seluruh temanku kelas 6 membawa bawaannya masing-masing. Tongkat-tongkat pramuka terlihat disandarkan di berbagai tempat. Namun yang terpenting adalah teman-temanku semua. Kami akan mengalami pengalaman yang sangat seru di tempat yang bahkan belum kami kenali dan ketahui! Tentu saja, bersama pendampingan kakak-kakak pembina di sana. Kami menunggu cukup lama, sampai akhirnya sang kepala sekolah muncul dan memerintahkan kami untuk berkumpul dan membuat barisan.

Semua hal yang penting diumumkan oleh ibu kepala sekolah kami. Akhirnya, beberapa lama kemudian, kami berangkat dari sekolah. Mobil yang kami tumpangi tersebut melaju kencang di jalan. Berbagai macam pohon terlihat di sisi kanan dan kiri jalan. Kadang-kadang kami menemui sawah di pinggir jalan. Awalnya, tentu jalanan cenderung datar. Lama kelamaan, tanjakan mulai terasa. Tentu saja, ini bisa dipahami, kami mendaki ke punggung Merapi. Jalur yang kami lalui bisa dikatakan asing bagiku. Jalurnya berbeda dengan jalur favorit yang sering dipilih oleh ayahku pada waktu perjalanan menuju ke Pakem atau Kaliurang.

Akhirnya, kami sampai pada desa Salakan. Nama ini sendiri membuatku bertanya-tanya. Apakah ada kaitannya dengan buah salak, yang oleh orang asing disebut sebagai “snake-skin fruit” itu? Mengapa aneh? Kalau memang kata Salakan mengacu pada buah salak, ini tentu agak sulit diterima. Soalnya, siapapun tahu, daerah Sleman yang berada di lereng Gunung Merapi, merupakan penghasil salak pondoh. Mestinya, daerah yang luas, mulai dari Cangkringan di arah timur, sampai ke arah Balerante di sisi barat laut (dari Jogja), sangat layak disebut sebagai daerah Salakan (atau tepatnya “persalakan”). Terlepas dari nama yang bagiku aneh itu, desa Salakan itu sendiri menandakan bahwa kami sudah hampir sampai lokasi. Satu kejadian unik adalah saat aku merasa bahwa kami sedang berada di jalan menuju ke warung makan Lombok Ijo! Dalam kisah sebelumnya, aku pernah menceritakan kehebohan makan di Lombok Ijo tersebut.

Setelah 45 menit yang cukup mengasyikkan tersebut, kami akhirnya sampai di TKP. Yang tentu layak disyukuri adalah perjalanan dengan 17 mobil yang mengantar kami berjalan lancar, tanpa insiden berarti.

Tempat kami terbagi menjadi tiga kampung, yaitu Kampung Semeru, Kampung Merapi, dan Kampung Merbabu. Kebetulan, reguku yang bernama laba-laba bertempat di Kampung Merapi, yakni kampung yang letaknya paling ujung perkemahan dan bersebelahan di Kampung Merbabu. Kebetulan, jalan sangat ramai dan macet. Apalagi kami tidak mengetahui di mana Kampung Merapi, Semeru, maupun Merbabu. Jadi, kami memilih bertanya kepada salah satu tukang parkir. Apesnya, mobil kami justru sudah sampai di atas, sementara Kampung Merapi ternyata ada di bagian bawah!

Bagaimana petualangan kami selanjutnya? Lanjutkan di serial selanjutnya!

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT