Hipnotis Lidah Takuan Soho #03
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang ketidak telitian dan keteledoranku atas pelajaran Matematika. Matematika memang pelajaran yang rumit untuk dipahami. Apabila kalian berpikir bisa menaklukan Matematika, hari berikutnya Matematikalah yang akan menaklukan kalian. Namun setidaknya, kita dapat memperbaiki dari kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, karena setiap orang tidak ada yang sempurna. Apabila kalian ingin membaca secara khusus serial berikut, maka silahkan baca di serial sebelumnya. Sekarang, tentu saja, kita akan membahas kelanjutan dari serial sebelumnya.
Pada waktu itu, hari sudah mulai pagi. Tentu saja, hari baru
ditandai dengan pagi yang cerah. Dalam hari yang cerah itu, tentu saja, kami
memulai aktivitas kami dengan biasa. Uniknya, pada waktu itu, hari Sabtu sudah
bertransformasi menjadi hari Minggu. Hari Minggu bisa diartikan dalam beberapa
hal bagiku. Pertama, hari Minggu membuat kegiatan beraktivitasku lebih tinggi. Kok
bisa? Bukannya hari Minggu adalah hari untuk bersantai? Tentu saja tidak
untukku. Biasanya, pada hari Minggu, kami sekeluarga pergi ke gereja. Selesai dari
gereja, kami menuju ke Taman Budaya. Selepas dari Taman Budaya, kami biasanya
memanjakan diri di suatu tempat makan dan berjalan-jalan di Kota Jogjakarta
yang ramai.
Namun, hari Minggu ini berbeda. Ayahku memberikan aku bacaan
yang dulunya memang tidak begitu aku suka, yakni Musashi. Mengapa? Jika kalian
pernah melihat buku bernama Musashi, maka kalian akan heran, apa isi dari buku
setebal 1000 halaman itu. Ternyata, setelah ditelisik lebih dalam, buku
berjudul Musashi ini membentuk karakter dari ayahku. Refleksi dan ilmu yang
berada di dalam buku tersebut menghipnotis ayahku, sehingga tak bosan-bosannya
ia membaca buku tersebut. Rekornya ialah empat kali membaca buku Musashi! Dan benar
saja. Ketika aku mulai berminat membaca buku Musashi itu, dunia seolah berubah
menjadi dunia perang dan samurai. Mengapa? Karena cerita di dalam buku tersebut
berisi tentang dunia peperangan di Jepang. Namun, anehnya, di dalam cerita
tersebut, tidak hanya peperangan saja, tetapi ada filsafat kehidupan. Sebuah tokoh
di dalam buku Musashi yang bernama Takuan Soho lah yang menunjukkan kehidupan
di tengah-tengah kesuraman perang.
Sebenarnya, cerita tersebut berawal dari serangkaian konflik
antara daimyo satu dengan daimyo yang lain. Daimyo adalah pemimpin
militer yang menguasai daerah tertentu. Mereka akan menggalang para samurai.
Menjadi samurai adalah hal yang istimewa, karena mereka akan memiliki kehidupan
yang lebih baik. Mereka juga akan terhormat, terutama ketika yang dipertuan
adalah sosok daimyo yang berhasil. Nah, bagi samurai yang tidak beruntung,
mereka hanya akan menjadi ronin miskin.
Pada sekitar tahun 1600-an itu lah serangkaian konflik
terjadi di Jepang. Sejumlah daimyo melakukan konsolidasi dan membentuk
kelompok. Buku Musashi ini tidak menjelaskan persoalan politik, tepatnya
munculnya Dinasti Tokugawa yang akan
berkuasa berabad-abad kemudian. Lebih tepatnya, buku ini mengisahkan kehidupan seorang
tokoh sungguhan yang pernah ada. Dia adalah sosok pemuda berandalan. Namanya
Takezo. Dia sebenarnya tidak lebih dari sekedar sebuah pion yang tidak mengerti
betapa rumit permainan politik yang sedang berjalan.
Sosok Takezo digambarkan sebagai manusia yang buas seperti
binatang. Dengan keahlian bermain pedang alias samurai, dia bisa membantai
orang dalam sekejap. Teman dekatnya ialah Matahachi. Sifat Takezo yang buas
tentu saja akan berubah seiring perjalanan waktu. Tokoh yang berperan penting
di dalam buku ini, yang berperan membentuk sifat Takezo, yakni Takuan Soho. Takuan
Soho adalah biarawan yang cerdas, pintar bersilat lidah, namun tidak pintar
dalam berperang. Kemampuannya yang paling tersohor yakni menghipnotis orang dengan
lidahnya, bahkan orang hebat seperti Takezo ditaklukan dengan mudahnya.
Untuk sementara, catatan harian sampai di sini dulu. Besok
dilanjutkan dengan catatan lain, yang semoga tidak kalah hebohnya dari
pengalaman hari ini.
Comments
Post a Comment