Segar dengan Tawa #02 - TAMAT

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang Benteng Vredeburg. Tentu saja, serial sebelumnya tidak lagi dapat dilanjutkan karena sudah melewati batas 500 kata. Maka, serial sebelumnya akan dilanjutkan di serial kali ini. Sebagai sinopsis, serial sebelumnya bercerita tentang pengalamanku sebagai pemain musik. Tepatnya, aku ikut berpartisipasi dalam suatu konser yang diadakan di Benteng Vredeburg. Mengapa disebut berpartisipasi? Karena yang tampil di benteng tidak hanya aku, namun seluruh pemain musik dan penyanyi di Taman Budaya Jogjakarta. Bagaimana kisahnya? Silahkan baca serial sebelumnya terlebih dahulu, baru kemudian membaca serial ini.

Pada waktu itu, hujan semakin deras saja. Parahnya, kami bermain di luar alias outdoor. Air berkecipak di luar maupun di atas tenda, namun itu tidak sama sekali menyurutkan semangat kami untuk menghibur para penonton. Justru malah menambah rasa damai dan tenang, sehingga dapat dipastikan kami akan menampilkan performa yang paling baik. Dengan segera, pelatih kami di Taman Budaya Jogjakarta, yakni Mbak Dewi dan Mas Ghana dengan segera mengkoordinasikan kami semua. Untuk apa? Tentu saja untuk cek sound. Cek sound adalah salah satu faktor keberhasilan kami untuk menampilkan performa yang baik. Mengapa? Karena dengan cek sound, mic bekerja dengan baik sesuai dengan proporsi suara alat kami masing-masing dan memperdengarkan suara yang indah.

Cek sound bisa memakan waktu sampai 30 menit, karena sulit bagi orang yang mengeset mic untuk mempadu-padankan suara. Apalagi, terdengar suara hujan di luar tenda yang membuat suara harus diperkeras dua kali lipat agar mengalahkan bunyi hujan. Namun, semua kendala itu dengan cepat menyingkir dan cek sound tersebut selesai. Kami pun diperbolehkan istirahat sebentar, sebelum konser yang sebenarnya dimulai. Kami pun lega dan dengan segera memanfaatkan istirahat tersebut.

Akhirnya, pada jam 6 kurang, kami semua diharuskan untuk duduk manis di kursi depan panggung. Tentu saja, itu memang wajib karena konsernya sendiri dimulai pada jam enam sore. Begitu jam tanganku menunjukkan pukul enam, pembawa acara muncul. Tentu saja, pembawa acara ini bukan sembarang pembawa acara, namun salah satu orang yang “terkocak” di Taman Budaya Jogjakarta. Namanya tentu saja, Pak Sigit. Jika menjadi pembawa acara, ada-ada saja yang bisa dibuat lucu olehnya. Mulai dari plesetan nama orang hingga lucu-lucuan yang tidak masuk akal. Oke, kita lewati saja hal itu. Ketika Pak Sigit sudah memberikan pembukaan bagi kami dan mempersilahkan kami untuk memainkan musik, akhirnya dengan segera sound memberikan suara performa terbaik kepada seluruh pengunjung.

Letak lucunya ada di sini. Pada waktu itu, yang menonton konser kami tidak hanya orang Indonesia, tetapi ternyata orang luar negeri. Tepatnya negara Estonia. Pak Sigit, tidak segan-segan membuat ayahku harus tampil di depan panggung! Orang asing itu tentu saja tidak (begitu) mengerti Bahasa Indonesia, jadi dengan segera Pak Sigit memanggil ayahku untuk menerjemahkan semua kata dari Pak Sigit. Pada waktu itu, beberapa orang tertawa. Termasuk aku dan ibuku. Untung saja ayahku seorang yang pemberani dan fasih berbahasa Inggris. Jadi ‘cobaan’ tersebut tidak membuatnya sinting dan segala macamnnya. 

Akhirnya, kami pun menyelesaikan konser tersebut dengan mulus, semulus-mulusnya. Dengan gembira, kamipun kembali ke rumah dengan sehat walafiat.

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT