Sopan di Bawah Guyuran Hujan #01

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang anomali cuaca. Ternyata, cuaca bisa menipu kita. Dari semula yang cerah, bahkan kelihatan terang benderang, beberapa waktu setelahnya bisa saja bertransformasi menjadi hujan lebat dengan petir yang menyambar-nyambar. Ataupun sebaliknya. Sayangnya, aku tidak bisa menceritakan kembali secara penuh di dalam serial ini, karena hanya akan menambah kebosanan saja. Tentu saja, kalian boleh membaca tentang cuaca di serial sebelumnya. Sekarang, kita akan membahas sesuatu yang berbeda. Apa yang berbeda? Langsung saja simak cerita di bawah ini, yang tentunya akan menarik dan agak lucu.

Pada waktu itu, tepatnya pada hari Minggu pukul empat, aku dan kedua orangtuaku dengan segera bersiap-siap untuk berangkat ke Benteng Vredeburg. Untuk apa? Jadi, pihak Benteng Vredeburg dan Taman Budaya, tempat aku latihan biola, menjalin semacam kerjasama untuk memeriahkan acara untuk mengenang Hari Museum. Tentu saja, aku dan teman-temanku di Taman Budaya diajak untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Mengapa? Karena, orang lebih senang menonton pertunjukan yang melibatkan anak-anak. Alasannya sederhana. Anak kecil seusia diriku ketika serial ini ditulis, tentu saja menimbulkan kekaguman yang luar biasa apabila dapat tampil di panggung dengan bakatnya yang istimewa. Apalagi, jika ia tidak grogi dengan pandangan puluhan orang didepannya.

Oke, lewati saja hal itu. Masih berhubungan dengan cuaca, pada waktu itu awan menutupi matahari. Kami berpendapat bahwa tidak lama lagi hujan akan turun dengan derasnya. Pendapat kami kali ini tidak begitu salah. Begitu kami selesai mandi dan berganti baju, kami pun menaiki mobil. Begitu kami semua sudah memasuki mobil kami yang kecil itu, ayahku menancap gas dan mobil melaju perlahan-lahan. Perjalanan kami tidak bisa dibilang mulus. Mengapa? Kalian pasti tahu, bagaimana keadaan di jalan raya pada saat weekend. Jalanan dipadati oleh mobil dan kendaraan berat, sementara itu motor menyelip dari segala sisi. Sungguh merepotkan dan kadang membuat emosi para pengendara. Akibatnya, klakson sering dibunyikan, belum ditambah suara mesin kendaraan itu sendiri.

Memang, berkendara di jalan-jalan Yogyakarta semakin dirasakan tidak mudah. Kepemilikan kendaraan bermotor, entah itu roda dua atau roda empat, sepertinya tidak terkendali. Kata ayahku, di Kota Yogyakarta ini, ada setidaknya 200.000 mahasiswa dan mahasiswi yang berasal dari seluruh penjuru negeri. Jumlah itu tampaknya tidak akan pernah surut. Bisa dibilang malah akan tambah terus. Mengapa? Karena memang Kota Jogja dikenal sebagai Kota Budaya dan Kota Pelajar. Tidak salah bila ada begitu banyak penghuni baru tiap tahunnya. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya turis yang datang pada saat liburan tiba. Dengan jalan yang berjubel penuh kemacetan, komplit sudah penderitaan karena ada begitu banyak kendaraan di jalanan. 

Untungnya saja, kami mempunyai kesabaran dan ketelitian yang cukup. Kesabaran dalam menghadapi situasi jalan yang tidak mengenakkan dan ketelitian dalam memperhatikan jam. Sekedar informasi bagi yang belum tahu, Taman Budaya Yogyakarta dengan Benteng Vredeburg itu sangat dekat, hanya dipisahkan jalan tikus yang berbeton. Jadi, kami tidak repot dalam mencari Benteng Vredeburg. Sayangnya, pada waktu kami sampai di Taman Budaya, titik air hujan sudah menetes. Dengan segera, kamipun keluar dari mobil. Peralatan-peralatan yang diperlukan, baik untuk pentas maupun peralatan yang lain seperti minuman sudah kami ambil. Tentu saja, kami tidak lupa membawa payung. Apabila kami lupa membawa sebuah payung saja, maka akibatnya akan fatal sekali.

Mungkin serial ini sampai disini dulu, sampai jumpa di serial selanjutnya ^_^

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT