Hidayah Kopi Arab #04
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang
perjalanan dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni dengan kapal yang besar,
yang tentu saja bisa mengangkut puluhan mobil pribadi dan angkutan umum! Sekarang,
kami sudah agak jauh meninggalkan Pelabuhan Bakauheni. Bahkan, tidak hanya
Pelabuhan Bakauheni, namun telah melewati Provinsi Lampung! Tepatnya, kami baru
saja memasuki Kabupaten Martapura, Provinsi Sumatera Selatan. Kemarin, kita
sudah membahas sedikit tentang Kopi Arab. Sebenarnya, Kopi Arab itu apa sih? Apakah
kopi benar-benar berasal dari Arab? Atau hanya namanya saja supaya para pembeli
tertarik? Atau itu hanya singkatan dari kopi yang selama ini kita kenal, yakni
Arabika? Pertanyaan itu segera terjawab setelah kalian membaca serial kali ini.
Pada waktu itu, Pak Bagong segera memarkirkan mobil kami di
depan “Warung Kopi Arab” tersebut. Warung itu telihat kecil dan biasa, seperti
warung pada umumnya. Yang membedakan adalah menu yang disediakan oleh warung
tersebut, yakni Kopi Arab. Saat itu, kami masih heran dan ingin segera
mencicipinya. Minimal orangtuaku dan Pak Bagong, karena aku tentu saja kurang
ingin meminum kopi unik tersebut. Aku lebih memilih susu daripada kopi. Tapi,
setelah kami menunggu lama, sang penjual tidak segera memunculkan diri! Karena
sang penjual tersebut tidak menampakkan batang hidungnya, kami memilih
memanggil sang penjual tersebut, agar tidak menghabiskan waktu yang lama hanya
menunggu di warung Kopi Arab. Akhirnya, penjual tersebut keluar. Dengan segera,
kami ditanyai satu-persatu. Kami langsung dilayani olehnya dan diberikanlah
kami minuman “legendaris” tersebut. Dari situ, sang penjual mulai bercerita.
Ternyata, dugaan kami tentang Kopi Arab hampir semua salah.
Kopi Arab yang ada di Kabupaten Martapura tersebut bukan kopi yang berasal dari
Arab, ataupun singkatan dari kopi Arabika. Soal hanya namanya saja yang membuat
pembeli tertarik, itu benar, tapi tidak menjawab pertanyaan kami. Beliau
menceritakan bahwa dulu menderita sakit yang sangat parah. Sulit untuk
disembuhkan, bahkan oleh obat-obatan resep dokter. Akhirnya, beliau dan
suaminya mencoba meracik suatu ramuan khusus untuk menyembuhkan sakit yang
parah itu. Oke, ralat, namanya bukan ramuan, tetapi seperti obat-obatan tradisional
atau lebih sering disebut sebagai jamu-jamuan. Tentu saja, ketika meracik,
mereka sama sekali tidak mengetahui resep tersebut. Seolah-olah, sang penjual
berkata, hidayah muncul dari Tuhan! Sungguh luar biasa terkejut kami
Hidayah? Istilah ini sendiri bagi kami tidak terlalu kami
kenal. Terlebih karena latar belakang keagamaan yang kami miliki. Namun,
sekilas kisah yang disampaikan sang ibu usia setengah abad rasanya sudah cukup
membuat kami paham. Resep Kopi Arab diperoleh setelah pasangan suami-istri
melakukan doa-doa dan tahajud. Memang tidak disebutkan bagaimana resep itu
disampaikan: apakah itu di dalam mimpi, atau di dalam penglihatan tertentu. Kami
tidak sampai menanyakan itu. Entar dikira kepo-lah kalau kami sampai tanya
sedetil itu.
Akhirnya, sang penjual tersebut perlahan-lahan sembuh dari
sakitnya. Ia dan suaminya berpikir, bagaimana jika resep jejamuan tersebut
dimasukkan ke dalam kopi, dan digunakan untuk sumber penghasilan? Mereka akhirnya
saling menyetujui pendapat tersebut dan mulailah mencantumkan resep baru, yakni
Kopi Arab. Nah, ada suatu kejadian yang lucu pada waktu itu. Dengan gaya bicara
dan gerak-gerik sang penjual tersebut, Pak Bagong menyimpulkan bahwa sang penjual
tersebut berasal dari Padang, Sumatera Barat. Tetapi, dugaan itu keliru. Sang penjual
tersebut berkata bahwa dirinya sendiri berasal dari Ponorogo, Jawa Timur,
daerah yang sama dengan asal Pak Bagong!
Sungguh aneh tapi nyata. Begitu
teraduk campurnya Bangsa Indonesia ini, sehingga semakin sulit saja mengenali
daerah asal seseorang. Sekedar spoiler, kehidupan
di Mirasi, tempat nenekku yang akan kami kunjungi tersebut, hampir sama seperti
kehidupan di Pulau Jawa! Mulai dari gerak-gerik, cara bicara, dan muka tiap
orang di wilayah tersebut.Walaupun wilayahnya Sumatera Selatan, namun karena
banyak yang transmigrasi dari Pulau Jawa, maka keadaannya menjadi seperti itu.
Maka, kita memang harus mencintai bangsa kita yang beragam
suku dan budaya ini, agar keutuhan Indonesia tetap terjaga. Kita dapat melihat
berbagai oknum masyarakat tak bertanggung jawab mencoba memecah belah negara
kita. Jangan seperti mereka, kita harus selalu menjaga keutuhan Indonesia
dengan toleransi tiap agama, suku, dan budaya. Dari perhentian di Martapura,
kami belajar tentang ke-Indonesiaan! MERDEKA!
Comments
Post a Comment