Insiden Lahat #07
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang Makanan
Padang di Pulau Sumatera. Tentu saja, Makanan Padang di Sumatera lebih mahal
daripada Makanan Padang di Pulau Jogja. Selain itu, lidah kami, yakni orang
Jawa, merasakan ada ketidakcocokan Makanan Padang asli Sumatera dengan lidah
kami. Namun, itu semua layak disyukuri. Mengapa? Karena makanan itulah yang
membuat kami sehat walafiat hingga kini. Tentu saja, setelah makan di Masakan
Padang tersebut, kami membayar ongkos makanan yang terbilang mahal dibandingkan
dengan Jogja. Lalu kami memasuki mobil dan Pak Bagong segera menjalankan mobil.
Beberapa jam (atau menit?) kemudian, kami sampai di suatu daerah yang memang
seharusnya kami lewati pada waktu itu, yakni Lahat. Namanya memang sedikit
aneh, mengingatkanku pada lumpur hisap, entah mengapa. Namun, yang kita
permasalahkan di sini bukanlah namanya, namun daerah yang berada di dalamnya!
Memang, ada apa sih dengan daerahnya? Pada waktu itu,
kebetulan sekali, ayahku bergantian menyopiri mobil dengan Pak Bagong? Mengapa
demikian? Tentu saja untuk kesempatan istirahat Pak Bagong supaya dapat
menyopir lebih jauh lagi. Lagipula, daerah Sumatera agak sulit, karena sinyal
internet dan GPS jelek, jadi aku tidak bisa membantu ayahku untuk menemukan rute.
Hari gini, memang internet semakin tidak terpisahkan dalam kehidupan kita,
termasuk di dalam navigasi lalu lintas. Selain itu, jalan yang hampir tiada
batasnya membuat kami semakin ragu untuk menentukan rute. Jadi pilihannya
hanyalah bergantung pada Pak Bagong. Nah, pada waktu itu, kami mengikuti Jalan
Lingkar Luar Lahat. Memang, jarak dengan tujuan akhir kami, yakni Mirasi
menjadi lebih dekat. Namun parahnya, jalan yang beraspal itu sudah rusak,
membuat kami merasa tidak enak saat berkendara.
Kejadian paling menarik ketika kami berjalan di suatu
Underpass pendek di Jalan Lingkar Luar Lahat tersebut. Kebetulan sekali pada
waktu itu, sopirnya masih ayahku! Anehnya, jalan menuju Underpass tersebut
sangatlah curam. Kami sempat berpikir, orang yang membuat/mendesain jalan itu
tampaknya kurang ahli. Lagipula, di bagian paling bawah dari Underpass
tersebut, air menggenangi jalanan kurang lebih setengah ban mobil kami. Entah
air tersebut berasal, kami tidak tahu. Mungkin dari air hujan yang turun
menggenangi tempat tersebut. Atau mungkin air yang keluar dari jalur saluran
air yang berada di dekat Underpass tersebut.
Nah, setelah itu semuanya menjadi bertambah parah. Jalan
berlubang di mana-mana, membuat kami terpaksa harus melambatkan kecepatan. Tampaknya,
kondisi jalan yang seperti itu benar-benar menyulitkan ayahku. Makhlum, ayahku
sama sekali bukan sopir profesional. Ayahku tidak lebih dari sopir bagi
keluarga sendiri. Pengalaman berkendaraan jarak jauh pun sangat minim. Tidak
mengherankan, melihat jalan yang lubang demi lubang menganga di sana-sini,
ayahku tampak seperti depresi!
Melihat hal itu, Pak Bagong yang sudah kembali segar pun
segera tanggap. Di Lingkar Luar Lahat itu lah sopir pun berganti. Dengan
lincahnya, Pak Bagong menghindari lubang-lubang tersebut. Namun, selincah
apapun Pak Bagong menghindari lubang tersebut, tetap saja membuat kecepatan
kami lebih lambat dari biasanya. Sudah bisa di duga, waktu kami tiba di tujuan
akhir akan semakin molor. Namun itu semua kami jalani dengan penuh rasa syukur.
Mengapa? Karena perasaan kecewa hanya akan membebani saja. Jadi, kami
menjalaninya dengan penuh rasa syukur dan terimakasih kepada Dia karena telah
menyelamatkan kami sampai di Lahat.
Perjalanan mencapai Lubuk Linggau, jantung Kabupaten
Musirawas, mencapai empat jam. Gelap sudah sudah mulai melingkupi cakrawala.
Beruntung bahwa jalan buruk berhenti di Lahat. Pak Bagong pun memacu mobil
dengan kecepatan yang menakjubkan. Dan yang lebih menakjubkan, kecepatan yang
tinggi benar-benar tidak membuat penumpang terombang-ambing di dalam mobil. Hal
ini pulalah yang kiranya perlu disyukuri.
Bagaimana kami sampai di Lubuk Linggau? Apakah kami juga
bisa sampai dengan kondisi yang tetap prima? Tunggu seri berikutnya.
Comments
Post a Comment