Tempat Angker Sekaligus Romantis! #14
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang perjalanan ke Singkut yang tidak singkat. Mengapa demikian? Karena pilihan jalan kami begitu buruk. Karena mengikuti prinsip kami pada waktu itu, kami malah memilih jalan yang pendek namun berlubang dan rusak parah! Mobil kami berjenis city car, bukan SUV (Sport Utility Vehicle), yang tentu saja tidak didesain untuk kondisi off-road. Jadi, duduk kami tidak enak, badan terasa cukup pegal. Untungnya saja, ayahku dan kami mempelajari sesuatu hal yang sangat berguna. Apa maksudnya? Jika kalian ingin melihat keseluruhannya, lihat serial sebelumnya. Sekarang, kita akan melihat kelanjutan dari perjalanan kemarin. Tentu saja, petualangan kami sekarang tidak kalah asyik dengan petualangan sebelumnya. Jika kalian penasaran, bacalah serial ini sampai akhir.
Ketika kami masuk ke jalan yang di sampingnya ada Pasar Singkut, kami kemudian dipandu oleh Romo Nugroho untuk menuju ke Pastoran Singkut tersebut. Berbagai jalan tikus kami lewati untuk mencapai Pastoran Singkut. Sampai pada akhirnya, kami sampai pada Pastoran Singkut tersebut. Pastoran Singkut memang unik. Mengapa? Karena lokasi pastoran ini tidak berada dalam satu lokasi dengan Gerejanya. Gereja terletak di bagian bawah, dekat dengan jalan masuk yang kami lewati. Sementara, Pastoran Paroki Singkut berada kurang lebih dua kilometer dari Gereja tersebut. Hal yang lebih menarik, dan ini hampir tidak pernah ditemukan di daerah Jawa, adalah kerimbunan akibat daun-daun kelapa sawit.
Begitu kami keluar dari mobil, tentu saja, kami melihat sebuah bangunan yang cukup aneh. Tentu saja, bangunan itu adalah semacam rumah yang ditinggali untuk koster gereja. Namun sekarang tidak lagi ditinggali. Intinya, bangunan itu adalah bangunan yang cukup terbengkalai. Setelah melihat pemandangan itu, aku mengedarkan pandangan ke seluruh wilayah itu. Benar saja, sepanjang pengelihatanku, hanya ada pohon dan tumbuhan saja. Bahkan ada tumbuhan yang menutupi jalan tikus di ujung sana. Akhirnya, aku meihat bangunan di mana kami akan beraktivitas di sana, yakni Pastoran Singkut.
Tidak seperti pastoran pada umumnya di Jawa, Pastoran Singkut cukup sepi. Sepi dan terpencil. Namun, dengan keadaan seperti itu, Pastoran Singkut justru memberikan rasa damai dan nyaman karena terlindungi oleh tetumbuhan dan pepohonan sekaligus tidak banyak orang alias sepi. Ralat, saat kami datang, satu-satunya orang yakni mantan mahasiswa ayahku itu yang bernama Romo Nugroho, SCJ. Itu juga sebuah keberuntungan bagi kami, karena dengan itu, kami dapat menikmati kenyamanan dan ketentraman di Pastoran Singkut.
Kami disuguhi beberapa makanan kecil sambil berbicara dan mengobrol dengan Romo Nugroho tersebut. Setelah beberapa lama, kami diajak makan bersama oleh Romo Nugroho. Setelah makan, tentu saja, kami ingin berpetualang menjelajah alam. Kebetulan sekali, Romo Nugroho berkata bahwa ada sebuah keindahan alam yang unik, yakni Danau Cinta! Wow, apa itu? Setelah ditelisik lebih jauh, ternyata danau itu berbentuk simbol love, jadi di beri nama Danau Cinta. Karena penasaran, maka kami berempat, yakni aku, saudara sepupuku, ayahku, dan Romo Nugroho mencoba berpetualang ke Danau Cinta tersebut. Ternyata, letaknya tidak jauh dari Pastoran Singkut! Dalam perjalanan, kami melihat 14 pemberhentian Jalan Salib di sepanjang jalan. Sudah pasti kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa jalan itu sering dipakai untuk jalan salib. Selain itu, rumput yang rimbun tampak dipotongi di sana-sini. Walaupun keadaan alam di situ menandakan bahwa belum ada orang yang pernah ke situ, ternyata ada dua tanda yang sangat jelas.
Begitu kami sampai di Danau Cinta tersebut, tampak bahwa danau tersebut memang berbentuk love. Namun, ada beberapa cacat yang terlihat di bentuk love tersebut. Bentuknya tidak sempurna! Tapi, yang namanya kenampakan alam memang tidak selalu sempurna. Setelah puas berfoto-foto dan melihat-lihat keadaan alam di sekitar situ, kami pun naik ke atas. Kebetulan jalan menuju ke Danau Cinta tadi menurun. Omong-omong, bahwa Danau Cinta – lebih tepatnya kolam – diperuntukkan sebagai tempat perjumpaan muda-mudi yang penuh romantisme. Di bagian sebelah kanan, terdapat pelataran bertingkat. Ada setidaknya tiga pohon yang berkesan angker – setidaknya semakin angker ketika 10 atau 20 tahun lagi. Itu lah pohon beringin, yang kata banyak orang merupakan tempat bersemayam para hantu. Namun, jangan bayangkan pula bahwa tempat berpohon beringin, di dekat Danau Cinta, itu dipakai untuk berkomunikasi antara manusia dengan setan, jin, peri dan perayangan. Bukan, sama sekali. Di tempat itu justru dipakai untuk tempat berdoa. Di pelataran paling atas (bayangkan kontur barisan pelataran yang bertingkat karya Alm. Romo Mangunwijaya, Pr. di seputar Sendangsono), ada Gua Maria. Ini gua buatan, bukan gua alam. Berbagai batuan yang dipakai untuk membentuk gua dan barisan pelataran merupakan bentukan geologis dari sekitar wilayah itu.
Di situ lah kami menikmati temaramnya sinar matahari di sing hari, di bawah rimbunnya daun-daun kelapa sawit dan pohon-pohon beringin. Sampai di sini petualangan mengunjungi Paroki Singkut. Untuk petualangan selanjutnya, tunggu serial selanjutnya yang bisa jadi lebih heboh lagi.
Ketika kami masuk ke jalan yang di sampingnya ada Pasar Singkut, kami kemudian dipandu oleh Romo Nugroho untuk menuju ke Pastoran Singkut tersebut. Berbagai jalan tikus kami lewati untuk mencapai Pastoran Singkut. Sampai pada akhirnya, kami sampai pada Pastoran Singkut tersebut. Pastoran Singkut memang unik. Mengapa? Karena lokasi pastoran ini tidak berada dalam satu lokasi dengan Gerejanya. Gereja terletak di bagian bawah, dekat dengan jalan masuk yang kami lewati. Sementara, Pastoran Paroki Singkut berada kurang lebih dua kilometer dari Gereja tersebut. Hal yang lebih menarik, dan ini hampir tidak pernah ditemukan di daerah Jawa, adalah kerimbunan akibat daun-daun kelapa sawit.
Begitu kami keluar dari mobil, tentu saja, kami melihat sebuah bangunan yang cukup aneh. Tentu saja, bangunan itu adalah semacam rumah yang ditinggali untuk koster gereja. Namun sekarang tidak lagi ditinggali. Intinya, bangunan itu adalah bangunan yang cukup terbengkalai. Setelah melihat pemandangan itu, aku mengedarkan pandangan ke seluruh wilayah itu. Benar saja, sepanjang pengelihatanku, hanya ada pohon dan tumbuhan saja. Bahkan ada tumbuhan yang menutupi jalan tikus di ujung sana. Akhirnya, aku meihat bangunan di mana kami akan beraktivitas di sana, yakni Pastoran Singkut.
Tidak seperti pastoran pada umumnya di Jawa, Pastoran Singkut cukup sepi. Sepi dan terpencil. Namun, dengan keadaan seperti itu, Pastoran Singkut justru memberikan rasa damai dan nyaman karena terlindungi oleh tetumbuhan dan pepohonan sekaligus tidak banyak orang alias sepi. Ralat, saat kami datang, satu-satunya orang yakni mantan mahasiswa ayahku itu yang bernama Romo Nugroho, SCJ. Itu juga sebuah keberuntungan bagi kami, karena dengan itu, kami dapat menikmati kenyamanan dan ketentraman di Pastoran Singkut.
Kami disuguhi beberapa makanan kecil sambil berbicara dan mengobrol dengan Romo Nugroho tersebut. Setelah beberapa lama, kami diajak makan bersama oleh Romo Nugroho. Setelah makan, tentu saja, kami ingin berpetualang menjelajah alam. Kebetulan sekali, Romo Nugroho berkata bahwa ada sebuah keindahan alam yang unik, yakni Danau Cinta! Wow, apa itu? Setelah ditelisik lebih jauh, ternyata danau itu berbentuk simbol love, jadi di beri nama Danau Cinta. Karena penasaran, maka kami berempat, yakni aku, saudara sepupuku, ayahku, dan Romo Nugroho mencoba berpetualang ke Danau Cinta tersebut. Ternyata, letaknya tidak jauh dari Pastoran Singkut! Dalam perjalanan, kami melihat 14 pemberhentian Jalan Salib di sepanjang jalan. Sudah pasti kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa jalan itu sering dipakai untuk jalan salib. Selain itu, rumput yang rimbun tampak dipotongi di sana-sini. Walaupun keadaan alam di situ menandakan bahwa belum ada orang yang pernah ke situ, ternyata ada dua tanda yang sangat jelas.
Begitu kami sampai di Danau Cinta tersebut, tampak bahwa danau tersebut memang berbentuk love. Namun, ada beberapa cacat yang terlihat di bentuk love tersebut. Bentuknya tidak sempurna! Tapi, yang namanya kenampakan alam memang tidak selalu sempurna. Setelah puas berfoto-foto dan melihat-lihat keadaan alam di sekitar situ, kami pun naik ke atas. Kebetulan jalan menuju ke Danau Cinta tadi menurun. Omong-omong, bahwa Danau Cinta – lebih tepatnya kolam – diperuntukkan sebagai tempat perjumpaan muda-mudi yang penuh romantisme. Di bagian sebelah kanan, terdapat pelataran bertingkat. Ada setidaknya tiga pohon yang berkesan angker – setidaknya semakin angker ketika 10 atau 20 tahun lagi. Itu lah pohon beringin, yang kata banyak orang merupakan tempat bersemayam para hantu. Namun, jangan bayangkan pula bahwa tempat berpohon beringin, di dekat Danau Cinta, itu dipakai untuk berkomunikasi antara manusia dengan setan, jin, peri dan perayangan. Bukan, sama sekali. Di tempat itu justru dipakai untuk tempat berdoa. Di pelataran paling atas (bayangkan kontur barisan pelataran yang bertingkat karya Alm. Romo Mangunwijaya, Pr. di seputar Sendangsono), ada Gua Maria. Ini gua buatan, bukan gua alam. Berbagai batuan yang dipakai untuk membentuk gua dan barisan pelataran merupakan bentukan geologis dari sekitar wilayah itu.
Di situ lah kami menikmati temaramnya sinar matahari di sing hari, di bawah rimbunnya daun-daun kelapa sawit dan pohon-pohon beringin. Sampai di sini petualangan mengunjungi Paroki Singkut. Untuk petualangan selanjutnya, tunggu serial selanjutnya yang bisa jadi lebih heboh lagi.
Comments
Post a Comment