Persoalan Mengelola Lidah #06

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang macet yang berjamaah di Simpang Meo. Macet itu memang menyebalkan. Apalagi macet “istimewa” yang terjadi di Simpang Meo. Terdapat 1066 orang yang juga “menikmati kemacetan” bersama kami (perkiraan kami), dan selama 5 jam kami terjebak dalam kemacetan tersebut, hanya karena truk terguling dan beberapa kecelakaan kecil setelahnya. Namun, gara-gara angka yang bombastis itu, kami justru merasa lega karena kami menyadari bahwa tidak hanya kami yang menanggung beban tersebut.

Sekarang, tentu saja, kami sudah bebas dari kemacetan berjamaah tersebut. Karena terjebak macet dalam waktu yang sangat lama, tentu saja perut kami mulai keroncongan. Sedangkan pilihan kami hanyalah masakan Padang. Masakan Padang menjadi salah satu makanan menu utama di Pulau Sumatera. Walaupun Masakan Padang berasal dari Sumatera Barat, namun kepopulerannya menjalar di seluruh Pulau Sumatera dan sekitarnya, sehingga di seluruh penjuru di Pulau Sumatera yang kami pernah lihat, kebanyakan toko makanan menjual menu yang sama, yakni Masakan Padang. Bahkan harus diakui, Masakan Padang telah diakui oleh dunia internasional! Bahkan menjadi salah satu makanan yang terenak di seluruh dunia, menyamai sate dan nasi goreng.

Pengalaman kami yang ber-lidah Yogyakarta dalam perjalanan ke Sumatera, dalam kaitannya dengan makan, bisa diringkas berikut ini. Pertama-tama, kami merasa bisa menikmati jenis masakan Padang. Barangkali karena memang karena kelaparan yang melanda kami, jadi menu makanan Padang terasa berterima di lidah kami. Kesempatan pertama menikmati makanan Padang ada di Kalianda. Itu kurang lebih pada waktu tengah malam. Barangkali karena memang selama 18 jam kami belum mencicipi nasi, kami cukup puas untuk makan pertama tersebut. 

Waktu makan kedua kalinya berlangsung ketika kami memasuki Tanjung Enim. Selepas dari kemacetan, Pak Bagong menemukan keliaran dalam berkendara. Setelah menuruni jalan berkelok, dan melewati beberapa kendaraan besar dengan keterampilan menakjubkan, kami mencapai daerah ngarai. Waktu sudah menunjukkan kurang lebih pukul 16. Tampaknya, pengalaman makan di rumah makan Padang ini tidak seenak pada pengalaman sebelumnya. Memang, tempatnya sangat cantik. Berada di sebuah tebing dari Sungai Enim. Mata kami dimanjakan oleh hamparan aliran sungai yang melebar. Warna airnya yang kusam kekuning-kuningan. Tampak ada seseorang yang membawa peralatan cari ikan, menyusuri sungai. Kedalaman sungai itu mencapai antara pinggang dan dada. Kembali ke lidah kami, terasa ada sesuatu yang hilang. 

Mengapa kok tiba-tiba kami merasakan adanya yang aneh dengan makanan? Jelas, perjalanan sendiri memang seringkali membuat perut tidak cukup toleran dengan berbagai macam makanan. Namun yang pasti, sepertinya itu karena masakan Padang di Pulau Sumatera dengan Masakan Padang di Pulau Jawa, khususnya di Jogjakarta. Masakan Padang di Pulau Sumatera cenderung lebih bersantan, berminyak, dan sedikit sayur. Namun jika kita menjumpai Pulau Jawa, khususnya Jogjakarta, Masakan Padang tidak terlalu berminyak, sedikit santan, dan sayur melimpah. 

Terlepas dari itu semua, tetap saja ada hal-hal menarik. Makan di Toko Masakan Padang asli Sumatera itu seperti prasmanan! Pelayan membawa semua piring yang berisikan lauk dan sayur, yang kemudian akan kami, pembeli, pilih. Uniknya, para pelayan membawa piring bertumpuk-tumpuk di tangan sampai batas sendi lengan dan tangan, seperti layaknya seorang pemain akrobat. Hebatnya, semua piring itu tidak tumpah. 

Hal menarik yang kedua adalah soal harga makanan. Makan kenyang di Jogja masih cukup dengan uang Rp. 10.000 – 15.000,- Hitung-hitungan kami, rerata biaya makanan per-orang mencapai Rp. 35.000 – 45.-000.- Di sini lah letak keanehannya. Di beberapa tempat tertentu, ada lumbung-lumbung padi yang sangat produktif di Sumatera. Namun mengapa harga makanan jauh lebih mahal tiga kali di Sumatera, dibandingkan di Yogyakarta? 

Pasti ada jawaban untuk pertanyaan ini. Untuk sementara, biarlah pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan. Toh tidak semua pertanyaan harus segera dicari jawabannya. Yang pasti, kami sudah sangat bersyukur karena berada dalam kondisi baik dan sehat. Dari Tanjung Enim, perjalanan masih akan melewati Kabupaten Lahat. Adakah sesuatu yang menarik dari Lahat? Itu akan menjadi kisah selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Telapak yang Terkoyak