Selepas Lampung, Masih Empat Kabupaten Lagi #03

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang perjalanan yang mengasyikkan menuju Pelabuhan Merak dari Jogja. Tentu saja, perjalanan itu tidak monoton dan diwarnai dengan pengalaman yang tidak tergantikan. Apabila kalian ingin membacanya, bacalah serial sebelumnya di blogku ini. Sekarang, kita akan melanjutkan serial yang kemarin. Begitu kapal sudah merapat ke dermaga di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, kami segera turun dari ruang pengunjung ke tempat parkir mobil. Tetapi, begitu kami melihat tempat parkir mobil, kami begitu terkejut bahwa tempat parkir tersebut sangatlah sesak oleh mobil. Mobil kami termasuk kelompok pertama yang memasuki kapal. Waktu kami menaiki tangga untuk memasuki kabin penumpang, ruang untuk parkir mobil memang masih banyak yang kosong. Begitu turun, ternyata sudah ada banyak sekali mobil. Untunglah, cara kerja lalu lintas keluar kapal dibuat sangat canggih. Yang masuk pertama, akan keluar pertama juga. Jadilah kami pun merupakan kelompok yang pertama keluar.

Barangkali karena rasa capek yang luar biasa dalam diriku, kantuk segera mengalahkanku. Dalam sekejap, aku pun tertidur di dalam mobil. Itu bukanlah suatu hal yang baru. Di kapal, karena mengantuk sekali, aku juga sempat tidur. Begitu aku bangun dari tidurku yang nyenyak, mobil sudah berjalan di aspal. Rupanya, Pak Sopir yang kami sewa sudah menjemput kami dan menjalankan mobil dari Pelabuhan Bakauheni menuju Lubuk Linggau. Sekarang, kami bisa sedikit santai. Omong-omong, Pak Sopir yang kami sewa itu mempunyai julukan yang agak lucu lho. Karena badannya agak gemuk, maka sebutannya untuk beliu adalah Pak Bagong. Ya, Bagong sering diidentikkan dengan orang yang gemuk, karena dalam tradisi wayang, Bagong adalah orang atau wayang terakhir di dalam Punakawan yang digambarkan bertubuh gemuk. Tentu saja, itu tidak untuk mengejek, namun sebagai julukan saja.

Sopir tersebut memang ahli, karena itulah pekerjaannya. Namun, bagaimanapun juga, sopir juga manusia. Begitu pula dengan Pak Bagong. Maka, karena perjalanan dari Lubuk Linggau ke Lampung merupakan perjalanan yang berat dan membuatnya mengantuk, maka ayahku bersedia menggantikan untuk waktu satu jam agar Pak Bagong dapat beristirahat. Pada saat yang bersamaan, aku bangun dan mengamati jalan. Ternyata, jalan Lampung-LubukLinggau tidak bercabang-cabang. Jalannya hanya satu, berkelok-kelok, mengikuti kontur lanskap. Akupun tidak tahu mengapa jalannya tidak dibuat bercabang-cabang. Aku hanya bisa sedikit menduga, itu dilakukan karena keadaan di Lampung kebanyakan hanyalah hutan di samping kiri dan kanan. Jadi, jalan berbelok itu merupakan salah satu kesulitan bagi manusia untuk membuat jalan bercabang.

Akhirnya, sopir pun berganti lagi. Pak Bagong menjadi sopir mobil, dan ayahku menjadi penumpang. Cara seperti itu manjur dan membuat kondisi Pak Bagong prima kembali lagi. Hari mulai menjelang siang dan membuat kami semua benar-benar terbangun dari tidur. Ya, karena kita spesies manusia merupakan makhluk diurnal dan bukan nokturnal, maka kita otomatis selalu bangun apabila sinar matahari menerpa kita. Oke, kembali lagi ke topik awal. Akhirnya, setelah beberapa jam perjalanan, kami bisa keluar dari wilayah Lampung. Sungguh luar biasa panjangnya wilayah Lampung itu! Begitu kami sampai di wilayah Sumatera Selatan, itu belum menandakan kami sudah berada di Lubuk Linggau. Mengapa? Karena wilayah Sumatera Selatan juga tidak sempit. Kami masih harus melintasi empat Kabupaten, yaitu Martapura, Baturaja, Muara Enim, dan Lahat. Lubuk Linggau sendiri terletak di Kabupaten Musirawas. Intinya, butuh waktu semalam dan sehari untuk mencapai Lubuk Linggau.  

Ada sepotong pengalaman kecil ketika kami hampir mencapai tengah Kota Martapura. Jam menunjukkan waktu jam 8. “Boleh kita mampir di kedai Kopi Arab?” Pak Bagong mengajukan pertanyaan. ”Kemarin kami menikmati kopi itu, dan rasanya menyegarkan,” lanjut Pak Bagong untuk meyakinkan. Ayahku sendiri memang bukan peminum kopi yang heboh. Namun, tanpa satu cangkir kopi di pagi hari, beliau pasti akan mengalami sakit kepala. Tawaran untuk menikmati Kopi Arab tersebut seakan membangunkannya dari kantuknya. 

Nama Kopi Arab membuat kami bertanya-tanya. Apakah penjualnya adalah orang Arab sungguhan? Apakah penjualnya memakai kostum “burqa” sebagaimana yang dipakai para wanita di Negeri Arab sana? Nah, pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab di tulisan berikutnya.

Comments

  1. lw boleh tanya.kondisi jalan baturaja muara enim bagus gk? tq

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Telapak yang Terkoyak