Jalan ke Singkut yang Tidak Singkat #13
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang pelanggaran “PAMALI.” Apa maksudnya? Seperti yang kita ketahui, akhir-akhir ini banyak ormas yang melakukan perbuatan tidak terpuji, seperti yang sudah kita bahas pada serial sebelumnya. Namun gerakan-gerakan ormas yang tidak bertanggung jawab ternyata tidak mengganggu ketenangan dan keharmonisan umat beragama di Mirasi atau Lubuk Linggau secara umum. Itu adalah suatu keberuntungan bagi kami yang tentu saja berlibur di tempat tersebut, karena seluruh aktivitas kami tidak terganggu. Oke, kembali ke topik utama. Mengapa kami melanggar “PAMALI” tersebut? Kami tidak melakukan hal yang teledor, tentu saja. Namun untuk kepentingan bersama. Maksudnya? Tentu saja, karena banyak orang yang datang dari segala penjuru desa ke rumah kami sampai malam sekali, tentu saja kami juga merasa mempunyai keperluan untuk mengunjungi rumah-rumah tetangga yang lainnya. Selengkapnya, kalian bisa lihat di serial sebelumnya.
Sekarang, tentu saja, kita akan membahas sesuatu yang berbeda. Tentu serial ini dibuat beberapa hari setelah cerita serial sebelumnya. Pada waktu itu, mantan mahasiswa ayahku dulu yang kebetulan adalah seorang imam Imam Katolik, mendapatkan penugasan di Jambi. Tanggal 29 Desember 2016 kami sempat bertemu dengan beliau dalam acara peresmian Gereja Paroki Tugumulyo. Pertemuan singkat itu akhirnya diakhiri dengan kesepakatan kecil. Hari berikutnya, kami dari Mirasi akan berkunjung ke Jambi, di tempat beliau ditugaskan. Tempat beliau bertinggal adalah daerah Singkut. Ini merupakan sebuah Kabupaten yang berbatasan dengan Sumatera Selatan. Tentu saja, jaraknya sangat jauh. Dari Kabupaten Musi Rawas, kami masih harus melewati Kabupaten lagi, yaitu Kabupaten Musi Rawas Utara, yang disingkat Muratara. Jadi wajar bila perjalanan dari Mirasi ke Singkut butuh waktu lebih dari empat jam. Petualangan kami menuju ke sana tentu saja tidak terduga.
Pada waktu itu, hari sudah beranjak siang. Tentu saja, kami tidak berani mengambil resiko berangkat terlalu siang, karena semakin siang kami berangkat, semakin malam pula kami pulang kembali ke rumah. Dengan segera, kami berpakaian pantas, membawa hal-hal yang diperlukan, dan memasuki mobil. Siapa saja itu kami? Tentu saja aku, kedua orangtuaku, pakdhe dan budheku, sekaligus saudara sepupuku. Begitu kami semua sudah duduk nyaman di dalam mobil, tentu saja ayahku langsung menekan pedal gas, dan mobil pun berjalan dengan lancar. Tentu saja, karena ayahku tidak mengerti keseluruhan dari rute menuju Singkut, maka kami butuh seorang pemandu jalan. Sepakat, kami memilih jalur yang paling pendek yang pernah dikenal oleh semua orang di desa tersebut.
Dari desa P.1, Mardiharjo yang kita kenal sebagai tempat berlibur kami, ayahku membawa mobil yang berisikan kami semua ke desa T, Bangunsari. Lalu setelah itu, kami sampai pada daerah yang kebetulan sekali membawa bencana tak terduga tersebut, yakni wilayah bernama Sumberharta. Kami mengira bahwa jalan yang terpendek adalah jalan yang terbaik. Itu prinsip kami pada waktu itu. Namun prinsip itu tentu saja salah. Akibatnya kami dibuat pusing tujuh keliling oleh keadaan jalan yang sungguh buruk. Aspal berlubang di beberapa tempat. Selain itu, jalan berukuran sempit yang mengakibatkan kecepatan yang diperlihatkan oleh spidometer tidak lebih dari 10 km/jam. Lebih buruknya lagi, mobil kami tidak di desain untuk jalan yang “buruk rupa” tersebut, sehingga kecepatan yang sangat rendah tersebut justru memperbesar konsumsi bahan bakar. Bisa dipastikan, kejadian tersebut adalah kesalahan yang fatal.
Namun tentu saja, dibalik kesalahan kami semua yang fatal tersebut, tentu saja ada pelajaran dan pesan moral dibaliknya. Pertama, pelajaran bagi ayahku. Dengan medan yang tidak mendukung seperti itu, kemampuan untuk mencari jalan yang baik meningkat tajam. Artinya, kesalahan fatal tersebut bisa dijadikan sebuah latihan dan pelajaran bagi kita. Kedua, dengan kecepatan rendah seperti itu, tentu saja emosi dapat meledak sewaktu-waktu karena tidak sabar. Namun kami mencoba mengendalikan emosi kami pada waktu itu. Dengan kata lain, kita dapat berlatih sabar pada kejadian-kejadian semacam itu. Tentu saja, setelah beberapa lama kemudian, jalan yang sempit dan rusak tersebut berganti menjadi jalan yang halus. Bila sebelumnya kecepatan hanya 10-20 km/jam, kini ayahku bisa memacu kendarannya menjadi 90-100 km/jam. Jalan menuju Jambi lurus, aspal yang superhalus. Itu lah jalur Trans Sumatera.
Akhirnya kami sampai di lokasi jam 12.20, lebih lambat satu jam dari yang direncanakan. Tapi keterlambatan itu tidak mengurangi suka cita kami. Di Pastoran Singkut itu kami disuguhi sejumlah penganan dan pemandangan unik. Bangunan Pastoran tidak lebih dari rumah singgah sementara. Berdiri di atas perbukitan, dikelilingi pohon-pohon kelapa sawit yang menjulang sampai 15-17 meter. Bagaimana petualangan kami saat di Singkut? Tunggu serial berikutnya ya…
Sekarang, tentu saja, kita akan membahas sesuatu yang berbeda. Tentu serial ini dibuat beberapa hari setelah cerita serial sebelumnya. Pada waktu itu, mantan mahasiswa ayahku dulu yang kebetulan adalah seorang imam Imam Katolik, mendapatkan penugasan di Jambi. Tanggal 29 Desember 2016 kami sempat bertemu dengan beliau dalam acara peresmian Gereja Paroki Tugumulyo. Pertemuan singkat itu akhirnya diakhiri dengan kesepakatan kecil. Hari berikutnya, kami dari Mirasi akan berkunjung ke Jambi, di tempat beliau ditugaskan. Tempat beliau bertinggal adalah daerah Singkut. Ini merupakan sebuah Kabupaten yang berbatasan dengan Sumatera Selatan. Tentu saja, jaraknya sangat jauh. Dari Kabupaten Musi Rawas, kami masih harus melewati Kabupaten lagi, yaitu Kabupaten Musi Rawas Utara, yang disingkat Muratara. Jadi wajar bila perjalanan dari Mirasi ke Singkut butuh waktu lebih dari empat jam. Petualangan kami menuju ke sana tentu saja tidak terduga.
Pada waktu itu, hari sudah beranjak siang. Tentu saja, kami tidak berani mengambil resiko berangkat terlalu siang, karena semakin siang kami berangkat, semakin malam pula kami pulang kembali ke rumah. Dengan segera, kami berpakaian pantas, membawa hal-hal yang diperlukan, dan memasuki mobil. Siapa saja itu kami? Tentu saja aku, kedua orangtuaku, pakdhe dan budheku, sekaligus saudara sepupuku. Begitu kami semua sudah duduk nyaman di dalam mobil, tentu saja ayahku langsung menekan pedal gas, dan mobil pun berjalan dengan lancar. Tentu saja, karena ayahku tidak mengerti keseluruhan dari rute menuju Singkut, maka kami butuh seorang pemandu jalan. Sepakat, kami memilih jalur yang paling pendek yang pernah dikenal oleh semua orang di desa tersebut.
Dari desa P.1, Mardiharjo yang kita kenal sebagai tempat berlibur kami, ayahku membawa mobil yang berisikan kami semua ke desa T, Bangunsari. Lalu setelah itu, kami sampai pada daerah yang kebetulan sekali membawa bencana tak terduga tersebut, yakni wilayah bernama Sumberharta. Kami mengira bahwa jalan yang terpendek adalah jalan yang terbaik. Itu prinsip kami pada waktu itu. Namun prinsip itu tentu saja salah. Akibatnya kami dibuat pusing tujuh keliling oleh keadaan jalan yang sungguh buruk. Aspal berlubang di beberapa tempat. Selain itu, jalan berukuran sempit yang mengakibatkan kecepatan yang diperlihatkan oleh spidometer tidak lebih dari 10 km/jam. Lebih buruknya lagi, mobil kami tidak di desain untuk jalan yang “buruk rupa” tersebut, sehingga kecepatan yang sangat rendah tersebut justru memperbesar konsumsi bahan bakar. Bisa dipastikan, kejadian tersebut adalah kesalahan yang fatal.
Namun tentu saja, dibalik kesalahan kami semua yang fatal tersebut, tentu saja ada pelajaran dan pesan moral dibaliknya. Pertama, pelajaran bagi ayahku. Dengan medan yang tidak mendukung seperti itu, kemampuan untuk mencari jalan yang baik meningkat tajam. Artinya, kesalahan fatal tersebut bisa dijadikan sebuah latihan dan pelajaran bagi kita. Kedua, dengan kecepatan rendah seperti itu, tentu saja emosi dapat meledak sewaktu-waktu karena tidak sabar. Namun kami mencoba mengendalikan emosi kami pada waktu itu. Dengan kata lain, kita dapat berlatih sabar pada kejadian-kejadian semacam itu. Tentu saja, setelah beberapa lama kemudian, jalan yang sempit dan rusak tersebut berganti menjadi jalan yang halus. Bila sebelumnya kecepatan hanya 10-20 km/jam, kini ayahku bisa memacu kendarannya menjadi 90-100 km/jam. Jalan menuju Jambi lurus, aspal yang superhalus. Itu lah jalur Trans Sumatera.
Akhirnya kami sampai di lokasi jam 12.20, lebih lambat satu jam dari yang direncanakan. Tapi keterlambatan itu tidak mengurangi suka cita kami. Di Pastoran Singkut itu kami disuguhi sejumlah penganan dan pemandangan unik. Bangunan Pastoran tidak lebih dari rumah singgah sementara. Berdiri di atas perbukitan, dikelilingi pohon-pohon kelapa sawit yang menjulang sampai 15-17 meter. Bagaimana petualangan kami saat di Singkut? Tunggu serial berikutnya ya…
Comments
Post a Comment