Penderitaan Berjamaah Bersama 1066 Orang #05 (Edisi Spesial)

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang hidayah yang menginspirasi munculnya resep Kopi Arab. Ternyata, dugaan kami semua tentang Kopi Arab salah. Sebenarnya, apa itu Kopi Arab? Kita semua akhirnya sudah mengetahui jawaban pada serial sebelumnya. Sekarang, kita akan membahas sesuatu yang lain. Tepatnya adalah lanjutan dari serial kemarin. Begitu puas dengan cerita sang penjual dan Kopi Arab yang enak itu, tentu saja terkecuali denganku karena aku meminum susu dan bukannya kopi, kami akhirnya memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Mirasi (tujuan akhir di Kabupaten Musirawas). Dengan segera, kami berpamitan dengan sang penjual, dan kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang tersebut.


Kami tidak terlalu lama menghabiskan kopi. Paling hanya 30 menit. Kami masih harus menyusuri Kabupaten Martapura dan Baturaja. Pengaruh Kopi Arab tampaknya membuat Pak Bagong sebagai sopir menjadi lebih segar. Dengan segala kelincahannya, mobil pun melaju. Kadang kencang, terutama ketika jalan aspal bagus. Namun, kadang pula, mobil harus pelan. Makhlum, tidak semua jalan mulus. Pada bagian-bagian tertentu, tanah labil. Aspal jenis hotmix pun terkelupas. Sekitar dua jam selepas menikmati Kopi Arab, kami memasuki daerah perbukitan. Kami baru tahu, wilayah itu yang disebut dengan Simpang Meo. Di sini lah terjadi suatu insiden parah. Insiden ini membuat kami harus terpaksa macet lima jam. 

Daerah di situ mempunyai tanah yang labil, sehingga aspal mudah rusak. Lagipula, banyak kendaraan berat lalu lalang di daerah situ, membuat aspal menjadi semakin parah! Selain itu, jalan memang menanjak karena berada di daerah pegunungan. Kami dengar, orang-orang menyebut daerah itu “rimbo”.  Jelaslah, keadaan seperti itu membuat banyak pengguna jalan tidak terasa aman dan nyaman. Di tempat yang berkelok-kelok, dengan banyak pohon besar di kanan dan di kiri, mobil tidak bisa bergerak sama sekali. Usut punya usut, ternyata ada truk yang jatuh terguling. Itu membuat puluhan kendaraan terpaksa berhenti menunggu pihak pemerintah menanganinya. Ada yang bilang kecelakaan itu terjadi pada jam 3 pagi sebelumnya. Ada pula yang bilang kecelakaan itu terjadi jam 1 pagi. Tidak ada yang jelas. Namun, yang paling jelas adalah, kami terpaksa macet dan kebetulan tidak ada jalan alternatif lainnya, selain lewat di Simpang Meo.

Agar tidak bosan dengan kemacetan yang luar biasa panjangnya itu, aku dan ayahku turun dari mobil untuk sedikit berolahraga. Lagipula, tidak ada yang bisa dilakukan di dalam mobil sambil memendam sedikit emosi karena kemacetan yang luar biasa tersebut. Saudara sepupuku yang ikut pulang ke Mirasi bersama kami menyertai aku dan ayahku mencoba melihat keadaan yang sebenarnya. Di tengah-tengah perjalanan ke atas, ayahku mempunyai ide untuk menghitung seluruh kendaraan yang terjebak di dalam macet tersebut, baik itu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum seperti bis dan truk. Sayangnya, kami sudah sampai tengah dari kemacetan yang sangat panjang tersebut, jadi kami akan merealisasikan ide tersebut ketika turun, kembali ke mobil. Begitu sampai di TKP, terlihat banyak mobil pribadi menutupi jalan sisi kanan. Padahal, itulah yang  justru semakin memperparah keadaan. Mengapa? Karena kendaraan yang di kanan jalan itulah yang menutupi jalan untuk kendaraan bis ketika berbalik arah. 

Akhirnya, kami kembali. Kami bagi-bagi tugas dalam menghitung kendaraan. Tugasku menghitung bis, tugas ayahku menghitung mobil kecil/pribadi, dan tugas saudara sepupuku menghitung truk. Begitu sampai di mobil kembali, kami dapat menyimpulkan bahwa di dalam kemacetan terdapat 50 truk, 17 bis, dan 31 mobil kecil/pribadi. Sungguh suatu angka yang sangat fantastis. Tidak heran bahwa kami bisa macet berjam-jam, bahkan sampai menyia-nyiakan waktu 5 jam hanya untuk berhenti menunggu macet usai. Itu pun diperparah oleh para pemuda yang mencoba mencari keuntungan. Mereka menipu kebanyakan sopir mobil pribadi untuk memutar balik dan meminta mereka menyumbangkan uang karena para pemuda itu membantu mereka. Padahal, jika mereka mengikuti perintah pemuda tersebut, mereka dan seluruh orang yang berada di kemacetan rugi, karena mobil mereka menjadi penghalang bagi bis yang akan berputar balik.

Akhirnya, ayahku terpaksa turun tangan. Beliau memberitahu dengan cara bicaranya yang khas. Di tengah-tengah kemacetan tersebut, ayahku menjadi sesosok pahlawan! Mengapa? Karena jika tidak ada ayahku yang turun tangan seperti itu, semakin banyak mobil yang justru balik arah dan hanya menjadi penghalang yang menyebalkan bagi bis yang akan berputar balik. 

Untungnya pada saat kemacetan tersebut, kami bisa mengatur emosi kami. Tentu saja, karena penderitaan karena kemacetan ini tidak hanya dirasakan oleh kami saja, namun oleh seluruh  orang di dalam kemacetan tersebut. Bayangkan, apabila ada 50 truk, 17 bis, dan 31 mobil kecil/pribadi, pasti orang yang ada di dalam transportasi tersebut bisa lebih dari satu orang. Apalagi bis yang mengangkut banyak orang. Katakanlah, masing-masing truk berpenumpang 2 orang saja, berarti total sudah ada 100 orang. Dari 17 bis besar, dipastikan ada sekitar 20 penumpang. Jadi minimal ada 340 penumpang bis. Sementara, dari 31 mobil, seandainya masing-masing ada 3 orang saja, akan diperoleh angka 93 orang. Jadi kira-kira kemacetan tersebut diderita oleh 533 manusia. Itu yang berasal dari arah Baturaja ke Tanjung Enim. Bayangkan bahwa  ada jumlah orang yang sama dari arah Tanjung Enim ke Baturaja! Akan ada 1066 orang yang terjebak dalam kemacetan parah di Simpang Meo itu. Kami melakukan hitung-hitungan itu, dan akhirnya merasa sedikit terhibur oleh karenanya. Bagaimanapun juga, telah terjadi sebuah penderitaan berjamaah, yang membuat kami tidak terlalu punya alasan untuk marah-marah.

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Telapak yang Terkoyak