Lubuk Kekacauan #11
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang kematian anjing kami tercinta, yakni Brendi. Dia sudah menemani kami, terutama keluarga besar di Mirasi (Tugumulyo) selama hampir setahun. Akhirnya, sebuah insiden mengambil nyawanya. Entah di mana dia sekarang, apakah dia di surga para binatang, atau surga seperti saat kita sudah meninggal? Tidak ada yang pernah tahu. Jika kalian ingin melihat cerita selengkapnya, silahkan baca serial sebelumnya. Sekarang ini, tentu saja, kita akan membahas sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih mendebarkan, yakni petualangan ke tempat “angker” itu sendiri, yang pernah kita bicarakan sedikit tentangnya, pada serial Angkernya Bulak Sidosari. Angker itu sendiri bukan berarti kita mengacu pada makhluk halus, namun keangkeran itu dibuat oleh manusia yang kebiasaannya sangat buruk, yakni merampas, atau lebih tepatnya membegal para pengendara sepeda motor.
Memang, masalah keamanan menjadi persoalan yang sangat pelik untuk daerah Lubuk Linggau. Arti dari dua kata Lubuk Linggau itu sendiri sudah menjelaskan semuanya. Lubuk sendiri merujuk pada sebuah lokasi, atau lebih tepatnya bagian sungai yang lebih dalam. Kalau kalian pergi ke sebuah sungai, dan di tempat tertentu air cenderung tidak terlalu bergolak, air cenderung tenang, nah itu yang disebut dengan lubuk. Lubuk merupakan sebuah tempat untuk tinggal banyak ikan dan berbagai binatang air, seperti kepiting, udang, dan lainnya. Kalau dalam pelajaran IPS, ada yang namanya lubuk laut. Sama konsepnya seperti lubuk yang dimaksud dalam kata Lubuk dari Lubuk Linggau. Lalu, bagaimana dengan kata Linggau? Kata ini merupakan kosa kata suku asli yang artinya kekacauan.
Kalau digabungkan, Lubuk Linggau artinya tempat berjumpa dan berkumpulnya orang-orang dari segala penjuru. Perpindahan dan perjumpaan orang dengan beragam latar belakang, berbeda suku, berbeda kepentingan, menciptakan potensi konflik.
Nama Lubuk Linggau sudah ratusan tahun usianya. Nama itu tidak hanya mencerminkan lokasi fisik dan geografis, tetapi juga menggambarkan realitas sosiologis. Kekerasan, gesekan, dan perilaku kejahatan dicerminkan dalam pilihan nama. Setidaknya itu yang pernah dikatakan ayahku. Ayahku mendengar itu dari kakek, yang adalah ayah dari ibuku.
Sepertinya, kebiasaan main kekerasan, kejahatan, dan ambil keuntungan dengan menyerobot milik orang lain sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Lubuk Linggau. Tentu saja kita tidak boleh membuat kesimpulan yang naif bahwa semua orang Lubuk Linggau pasti seperti itu. Ada banyak sekali orang baik di sana. Buktinya, kami sering jalan-jalan di sekitar pedesaan dan kami menyapa kebanyakan orang di sana. Mereka bahkan ramah sekali!
Tentu saja, pesan yang dapat diambil dari kesimpulan-kesimpulan di atas yakni dalam menghadapi kondisi sosiologis yang keras macam itu, adalah wajib bagi siapapun untuk benar-benar bertindak penuh perhitungan.
Tanpa memiliki pertimbangan yang matang saat kita bepergian, sangat mungkin kita akan menjadi sasaran kejahatan. Namun, bagi orang-orang di sana itu adalah hal yang biasa terjadi. Mereka mampu beradaptasi sehingga bisa menyesuaikan hidup dan nyaman tinggal di sana. Ini lah pengalamanku merayakan Hari Raya Natal di Tugumulyo, Lubuk Linggau. Hari Raya Natal di tempat kelahiran ibuku sangat berbeda. Di Jogja, liburan Natal sangatlah sepi. Keluar rumah sangat jarang, bahkan tempat-tempat wisata di wilayah Jogjakarta hampir tidak pernah kami kunjungi, kecuali jika ada keperluan-keperluan penting. Namun berbeda dengan suasana di Tugumulyo. Natal adalah sarana bagi seluruh umat untuk berkunjung ke rumah-rumah! Namanya kita sering dengar, open house. Tidak hanya umat Kristiani yang berkunjung, namun juga umat Muslim dan agama lainnya. Sungguh harmonis hidup di desa tersebut!
Oke, kembali ke topik utama. Kami memang melaksanakan open house juga, di rumah kami. Namun tentu saja, kami juga perlu untuk berkunjung ke rumah tetangga-tetangga lainnya. Dan untuk itu, kami harus melanggar perhitungan strategis demi keselamatan. Sudah menjadi "semacam hukum", selepas maghrib, jangan pernah melewati Bulak T dengan menggunakan motor. Ingat? Begal-begal akan berkeliaran sepanjang jalan itu. Itu adalah “hukum” yang dipatuhi. Bagi kalian yang belum tahu seperti apa daerah itu. Ini lah gambaran secara sekilas. Bulak T merupakan sebuah lokasi yang menghubungkan wilayah T Bangunsari dengan jalur utama menuju Megang Sakti. Disebut bulak karena memang di kiri kanan jalan terhampar persawahan yang subur. Ada tempat tertentu yang lebih tinggi, dan irigasi tidak mencapai daerah yang lebih tinggi tersebut. Di situ ditanam pohon-pohon karet.
Bila tidak pernah mendengar adanya aksi kejahatan di sekitar itu, siapapun akan sepakat: Bulak T itu sangat indah. Indah untuk dinikmati dengan bersantai ria di jalan. Indah untuk mencuci mata. Ketika memasuki hutan karet, jalan sedikit berkelok-kelok. Yang jauh lebih mengasyikan adalah jalan beraspal bagus. Tetapi jangan salah, di tempat yang indah ini, sangat mungkin pelaku kejahatan mengintai. Tanpa perhitungan matang, kita bisa jadi akan menjadi korbannya. Insiden macam apa yang kami alami saat melewati daerah di tempat itu pada waktu yang salah?
Saksikan kelanjutannya di serial berikutnya!
Memang, masalah keamanan menjadi persoalan yang sangat pelik untuk daerah Lubuk Linggau. Arti dari dua kata Lubuk Linggau itu sendiri sudah menjelaskan semuanya. Lubuk sendiri merujuk pada sebuah lokasi, atau lebih tepatnya bagian sungai yang lebih dalam. Kalau kalian pergi ke sebuah sungai, dan di tempat tertentu air cenderung tidak terlalu bergolak, air cenderung tenang, nah itu yang disebut dengan lubuk. Lubuk merupakan sebuah tempat untuk tinggal banyak ikan dan berbagai binatang air, seperti kepiting, udang, dan lainnya. Kalau dalam pelajaran IPS, ada yang namanya lubuk laut. Sama konsepnya seperti lubuk yang dimaksud dalam kata Lubuk dari Lubuk Linggau. Lalu, bagaimana dengan kata Linggau? Kata ini merupakan kosa kata suku asli yang artinya kekacauan.
Kalau digabungkan, Lubuk Linggau artinya tempat berjumpa dan berkumpulnya orang-orang dari segala penjuru. Perpindahan dan perjumpaan orang dengan beragam latar belakang, berbeda suku, berbeda kepentingan, menciptakan potensi konflik.
Nama Lubuk Linggau sudah ratusan tahun usianya. Nama itu tidak hanya mencerminkan lokasi fisik dan geografis, tetapi juga menggambarkan realitas sosiologis. Kekerasan, gesekan, dan perilaku kejahatan dicerminkan dalam pilihan nama. Setidaknya itu yang pernah dikatakan ayahku. Ayahku mendengar itu dari kakek, yang adalah ayah dari ibuku.
Sepertinya, kebiasaan main kekerasan, kejahatan, dan ambil keuntungan dengan menyerobot milik orang lain sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Lubuk Linggau. Tentu saja kita tidak boleh membuat kesimpulan yang naif bahwa semua orang Lubuk Linggau pasti seperti itu. Ada banyak sekali orang baik di sana. Buktinya, kami sering jalan-jalan di sekitar pedesaan dan kami menyapa kebanyakan orang di sana. Mereka bahkan ramah sekali!
Tentu saja, pesan yang dapat diambil dari kesimpulan-kesimpulan di atas yakni dalam menghadapi kondisi sosiologis yang keras macam itu, adalah wajib bagi siapapun untuk benar-benar bertindak penuh perhitungan.
Tanpa memiliki pertimbangan yang matang saat kita bepergian, sangat mungkin kita akan menjadi sasaran kejahatan. Namun, bagi orang-orang di sana itu adalah hal yang biasa terjadi. Mereka mampu beradaptasi sehingga bisa menyesuaikan hidup dan nyaman tinggal di sana. Ini lah pengalamanku merayakan Hari Raya Natal di Tugumulyo, Lubuk Linggau. Hari Raya Natal di tempat kelahiran ibuku sangat berbeda. Di Jogja, liburan Natal sangatlah sepi. Keluar rumah sangat jarang, bahkan tempat-tempat wisata di wilayah Jogjakarta hampir tidak pernah kami kunjungi, kecuali jika ada keperluan-keperluan penting. Namun berbeda dengan suasana di Tugumulyo. Natal adalah sarana bagi seluruh umat untuk berkunjung ke rumah-rumah! Namanya kita sering dengar, open house. Tidak hanya umat Kristiani yang berkunjung, namun juga umat Muslim dan agama lainnya. Sungguh harmonis hidup di desa tersebut!
Oke, kembali ke topik utama. Kami memang melaksanakan open house juga, di rumah kami. Namun tentu saja, kami juga perlu untuk berkunjung ke rumah tetangga-tetangga lainnya. Dan untuk itu, kami harus melanggar perhitungan strategis demi keselamatan. Sudah menjadi "semacam hukum", selepas maghrib, jangan pernah melewati Bulak T dengan menggunakan motor. Ingat? Begal-begal akan berkeliaran sepanjang jalan itu. Itu adalah “hukum” yang dipatuhi. Bagi kalian yang belum tahu seperti apa daerah itu. Ini lah gambaran secara sekilas. Bulak T merupakan sebuah lokasi yang menghubungkan wilayah T Bangunsari dengan jalur utama menuju Megang Sakti. Disebut bulak karena memang di kiri kanan jalan terhampar persawahan yang subur. Ada tempat tertentu yang lebih tinggi, dan irigasi tidak mencapai daerah yang lebih tinggi tersebut. Di situ ditanam pohon-pohon karet.
Bila tidak pernah mendengar adanya aksi kejahatan di sekitar itu, siapapun akan sepakat: Bulak T itu sangat indah. Indah untuk dinikmati dengan bersantai ria di jalan. Indah untuk mencuci mata. Ketika memasuki hutan karet, jalan sedikit berkelok-kelok. Yang jauh lebih mengasyikan adalah jalan beraspal bagus. Tetapi jangan salah, di tempat yang indah ini, sangat mungkin pelaku kejahatan mengintai. Tanpa perhitungan matang, kita bisa jadi akan menjadi korbannya. Insiden macam apa yang kami alami saat melewati daerah di tempat itu pada waktu yang salah?
Saksikan kelanjutannya di serial berikutnya!
Comments
Post a Comment