Maaf, Bukan dari Golongan Kanibal! #10
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang anjing. Yang dimaksud anjing di sini bukanlah anjing biasa. Jika kalian pernah lihat anjing yang setia pada cerita Lima Sekawan yang bernama Tim, nah, seperti itulah anjing yang aku maksud. Mungkin ada beberapa perbedaan, namun kurang lebih sama. Sama cerdas dan sigapnya. Namun sayangnya, seperti yang sudah dibahas pada serial yang lalu, ada sebuah kejadian yang membuat nyawanya melayang. Walaupun begitu, kesan yang diberikannya sangatlah mendalam. Jika kalian penasaran melihatnya, silahkan baca di serial sebelumnya. Akhirnya, kami mencoba berunding untuk mendapatkan solusinya, mau “diapakan” mayat sang anjing alias Brendi. Terlihat tubuhnya yang masih hangat akan kehidupan, namun sudah tergeletak tak berdaya di tanah bersemen.
Kami, yang merasakan betul-betul kehebatan dan pengabdian sang Brendi tentu saja memilih agar mayat Brendi dikubur ke dalam tanah. Namun, tentu saja, bagi sekelompok tertentu, daging anjing dinilai sebagai sumber protein yang luar biasa nikmat. Tentu bukan untuk mendiskreditkan mereka yang terbiasa menikmati daging anjing. Persoalan selera makan bukan hal yang sederhana. Apa yang kita sukai akan membekas di dalam diri. Sering kita dengar, sekalipun perut telah dipenuhi dengan berbagai makanan, namun bila belum ada unsur nasi yang dimakan, tetap belum merasa kenyang. Itu lah orang Indonesia!
Mengapa demikian? Karena soal rasa di mulut adalah warisan yang telah menjadikan kita sebagai sosok dengan selera tertentu. Ayahku bisa nyaman makan gudeg yang supermanis. Dia lahir dan besar di Jogja. Ibuku masih bisa menikmati gudeg, namun tidak bisa seperti ayahku. Mengapa? Karena Ibuku lahir dan besar di Sumatera. Tingkat “manis” makanan Yogyakarta dan Sumatera tentu berbeda. Nah, begitulah kira-kira warisan cita rasa dan selera. Kalau sudah tertanam erat dalam diri, sangat sulit untuk dihilangkan. Barangkali mekanisme kecanduan, entah itu kecanduan rokok, alkohol, narkoba, dan judi, memiliki kemiripan. Aku katakan barangkali, karena aku cuma memperkirakan saja. Kalau mau tahu tentang bagaimana otak bekerja, bagaimana kemampuan berpikir dan kemampuan merasa bekerja dan saling berinteraksi, silahkan pelajari ilmu mutakhir bernama neuroscience. Tentu saja, karena memang ayahku adalah seorang pembaca yang serius, maka ayahku juga sering membaca soal neuroscience. Dia pernah menyarankanku untuk membaca tersebut, bahkan menerangkannya di depanku.
Oke, kita kembali ke topik utama. Tubuh Brendi yang putih bersih itu terkulai. Hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama tubuhnya pun dingin dan kaku. Aku membayangkan, jutaan bakteri segera beraksi di dalam tubuhnya. Bakteri itu mengurai sel-sel yang pernah membuat kami bahagia, namun sekarang sudah mati dan terurai kembali ke alam. Akhirnya, karena terlalu disayangkan untuk dijadikan makanan, maka kami memutuskan untuk mengubur mayat Brendi kembali ke tanah.
Akhirnya, kami mendiskusikan tempat terakhir di mana Brendi beristirahat untuk selama-lamanya. Lalu, dengan peralatan yang lengkap, kami berjalan menuju tempat yang disepakati oleh kami. Ayahku dengan ringan, dan tentu untuk menghibur kami semua yang berduka, "Mari kita bersepakat, kita kali ini bukan dari golongan kanibal.”
Kakak sepupuku, yang usianya dua tahun di atasku, segera menemukan tempat untuk penguburan “jenasah” Brendi. Lokasinya di sudut barat daya, di antara dua pohon rambutan. Tanah berwarna merah mulai digali. “Tanahnya aneh, jauh lebih keras untuk digali,” kata ayahku. Beliau turun tangan setelah melihat kami tidak segera menampakkan kemajuan berarti. Senja sudah mulai turun. “Berbeda dengan tanah di Jawa. Penggalian harus menguras tenaga lebih,” lanjutnya. Nafasnya memburu.
Ayahku barangkali benar, atau lebih tepatnya aku percaya dengan apa yang dikatakannya. Tanah yang digali itu tidak mudah. Selain ada begitu banyak akar yang mengganggu, saudara sepupuku sangat kesulitan. Peluhnya sudah berjatuhan di dahi dan lehernya. Sementara kedalaman belum selututnya. Sebagai seorang anak yang lahir di daerah pedesaan, dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang juga petani, ayahku pasti mengenal berbagai tekstur tanah.
Akhirnya, waktu penguburan pun tiba. Kakak sepupuku mengambil sepotong genting yang masih agak utuh. “Ini diletakkan di atas tubuh Brendi,” suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Tiba-tiba, aku sendiri merasa begitu sedih. Barangkali, kalau ada yang melihat kami berdua, mungkin mereka menilai kami begitu konyol. Mengapa? Tanpa kami bisa bendung, cucuran air mata menetes, pelan-pelan, tanpa kami sadari. Brendi adalah teman kami. Benar kata ayahku, “kami bukan golongan kanibal.” Kami tidak akan memakan “teman sendiri”.
“Okay, mulai hari ini, kita mengenang Brendi kita dengan sebutan: Brendi Karlali,” kata kakak sepupuku. Sebelumnya, aku beritahukan nama penyanyi Brandi Carlyle.
Itu sepotong kisah mengenaskan. Petualangan selanjutnya masih banyak. Salah satu yang paling mendebarkan adalah saat kami menyusuri Bulak T: sebuah lokasi strategis bagi para perampas sepeda motor! Tunggu kisah selanjutnya.
Kami, yang merasakan betul-betul kehebatan dan pengabdian sang Brendi tentu saja memilih agar mayat Brendi dikubur ke dalam tanah. Namun, tentu saja, bagi sekelompok tertentu, daging anjing dinilai sebagai sumber protein yang luar biasa nikmat. Tentu bukan untuk mendiskreditkan mereka yang terbiasa menikmati daging anjing. Persoalan selera makan bukan hal yang sederhana. Apa yang kita sukai akan membekas di dalam diri. Sering kita dengar, sekalipun perut telah dipenuhi dengan berbagai makanan, namun bila belum ada unsur nasi yang dimakan, tetap belum merasa kenyang. Itu lah orang Indonesia!
Mengapa demikian? Karena soal rasa di mulut adalah warisan yang telah menjadikan kita sebagai sosok dengan selera tertentu. Ayahku bisa nyaman makan gudeg yang supermanis. Dia lahir dan besar di Jogja. Ibuku masih bisa menikmati gudeg, namun tidak bisa seperti ayahku. Mengapa? Karena Ibuku lahir dan besar di Sumatera. Tingkat “manis” makanan Yogyakarta dan Sumatera tentu berbeda. Nah, begitulah kira-kira warisan cita rasa dan selera. Kalau sudah tertanam erat dalam diri, sangat sulit untuk dihilangkan. Barangkali mekanisme kecanduan, entah itu kecanduan rokok, alkohol, narkoba, dan judi, memiliki kemiripan. Aku katakan barangkali, karena aku cuma memperkirakan saja. Kalau mau tahu tentang bagaimana otak bekerja, bagaimana kemampuan berpikir dan kemampuan merasa bekerja dan saling berinteraksi, silahkan pelajari ilmu mutakhir bernama neuroscience. Tentu saja, karena memang ayahku adalah seorang pembaca yang serius, maka ayahku juga sering membaca soal neuroscience. Dia pernah menyarankanku untuk membaca tersebut, bahkan menerangkannya di depanku.
Oke, kita kembali ke topik utama. Tubuh Brendi yang putih bersih itu terkulai. Hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama tubuhnya pun dingin dan kaku. Aku membayangkan, jutaan bakteri segera beraksi di dalam tubuhnya. Bakteri itu mengurai sel-sel yang pernah membuat kami bahagia, namun sekarang sudah mati dan terurai kembali ke alam. Akhirnya, karena terlalu disayangkan untuk dijadikan makanan, maka kami memutuskan untuk mengubur mayat Brendi kembali ke tanah.
Akhirnya, kami mendiskusikan tempat terakhir di mana Brendi beristirahat untuk selama-lamanya. Lalu, dengan peralatan yang lengkap, kami berjalan menuju tempat yang disepakati oleh kami. Ayahku dengan ringan, dan tentu untuk menghibur kami semua yang berduka, "Mari kita bersepakat, kita kali ini bukan dari golongan kanibal.”
Kakak sepupuku, yang usianya dua tahun di atasku, segera menemukan tempat untuk penguburan “jenasah” Brendi. Lokasinya di sudut barat daya, di antara dua pohon rambutan. Tanah berwarna merah mulai digali. “Tanahnya aneh, jauh lebih keras untuk digali,” kata ayahku. Beliau turun tangan setelah melihat kami tidak segera menampakkan kemajuan berarti. Senja sudah mulai turun. “Berbeda dengan tanah di Jawa. Penggalian harus menguras tenaga lebih,” lanjutnya. Nafasnya memburu.
Ayahku barangkali benar, atau lebih tepatnya aku percaya dengan apa yang dikatakannya. Tanah yang digali itu tidak mudah. Selain ada begitu banyak akar yang mengganggu, saudara sepupuku sangat kesulitan. Peluhnya sudah berjatuhan di dahi dan lehernya. Sementara kedalaman belum selututnya. Sebagai seorang anak yang lahir di daerah pedesaan, dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang juga petani, ayahku pasti mengenal berbagai tekstur tanah.
Akhirnya, waktu penguburan pun tiba. Kakak sepupuku mengambil sepotong genting yang masih agak utuh. “Ini diletakkan di atas tubuh Brendi,” suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Tiba-tiba, aku sendiri merasa begitu sedih. Barangkali, kalau ada yang melihat kami berdua, mungkin mereka menilai kami begitu konyol. Mengapa? Tanpa kami bisa bendung, cucuran air mata menetes, pelan-pelan, tanpa kami sadari. Brendi adalah teman kami. Benar kata ayahku, “kami bukan golongan kanibal.” Kami tidak akan memakan “teman sendiri”.
“Okay, mulai hari ini, kita mengenang Brendi kita dengan sebutan: Brendi Karlali,” kata kakak sepupuku. Sebelumnya, aku beritahukan nama penyanyi Brandi Carlyle.
Itu sepotong kisah mengenaskan. Petualangan selanjutnya masih banyak. Salah satu yang paling mendebarkan adalah saat kami menyusuri Bulak T: sebuah lokasi strategis bagi para perampas sepeda motor! Tunggu kisah selanjutnya.
Comments
Post a Comment