Naik Punggung Imogiri #02
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang keadaan
kami saat mulai berjalan dari rumah ke tempat yang akan kami tuju. Tentu saja,
ayahku yang merasa mengantuk dan capai rela untuk mengantar kami semua ke
tempat yang ingin kami tuju, yakni Hutan
Pinus Dlingo. Singkatnya, GPS yang ada di hpku atau dapat disebut sebagai
Waze, menunjukkan jalan yang cukup menantang bagi ayahku, sehingga rasa
kantuknya hilang seketika, diusir oleh rasa was-was dan rasa antusiasme untuk
mengalahkan hambatan yang ada di depan mata. Belakangan, kami mengetahui bahwa
Hutan Pinus Dlingo berada di salah satu bukit dari banyak sekali bukit yang ada
di Imogiri. Sebelumnya kami memang tidak tahu bahwa ada medan yang relatif
menantang dan harus dilalui dengan hati-hati.
Rasanya,pada waktu itu, seperti perjalanan menuju ke rumah nenek dari ayahku, yakni Pegunungan Menoreh. Itu pengakuan ayahku. Ternyata, pengakuan ayahku tidak sepenuhnya
salah. Medannya benar-benar hampir persis dengan seperti perjalanan menuju ke
rumah nenek dari ayahku. Mungkin bisa dibilang agak lebih parah. Mengapa?
Karena medan tersebut berdindingkan tanah yang tiap belokan diberi papan
bertuliskan “RAWAN LONGSOR.” Itu benar-benar tidak menenangkan hati. Apalagi,
kami seolah manusia kecil yang lemah dibandingkan dengan bencana tanah longsor
yang dengan sekejap dapat merenggut nyawa kami. Namun ternyata, ketakutan itu
tidak berdasar sama sekali. Nyatanya? Bahkan satu partikel tanahpun tidak kami
lihat bergerak.
Begitu sampai di puncak, kami dapat bernafas dengan lega. Ternyata,
bukit tersebut tidak setinggi yang kami duga. Perjuangan kami ternyata
membuahkan hasil. Akhirnya, kami menemukan sebuah tempat yang bernama “Puncak
Becici.” Yep, seperti namanya, Puncak Becici merupakan titik puncak dari beberapa
perbukitan di Imogiri, sehingga Puncak Becici juga merupakan salah satu tempat
wisata para wisatawan. Begitu ayah dan ibuku melihat tempat itu, mereka
langsung menyadari bahwa itulah tujuan kita. “Puncak, puncak, ayo Puncak Becici
parkir di sini!” seru seorang anak dengan lantang. Seruan anak tersebut semakin
meneguhkan hati ayahku. Namun, padaku justru membuat semakin heran dan ragu.
Sebelum ayahku terlanjur parkir, aku berkata, “Eh, ini kok
di Waze masih lanjut ke sana ya? Kira-kira sekitar 3 km lagi?” Memang, tampilan
dari Puncak Becici begitu meyakinkan. Tumbuhan pinus menjulang tinggi ke atas,
bagaikan gedung pencakar langit tampak gagah teguh berdiri di atas tanah,
seolah mengatakan, “Ini memang tempat wisatanya!” Namun aku berperasaan lain
daripada yang lain. Mengapa? Karena sudah terbukti, Waze hampir selalu benar dalam soal navigasi. Untuk kali ini, ternyata,
ayahku mempercayaiku. Lagipula apa salahnya mencoba? Siapa tahu, di depan sana
ada sesuatu yang lebih menarik daripada sebuah Puncak Becici? Iya kan?
Dengan cepat ayahku membelokkan mobil ke arah kiri. Terpampang
di depan jalan agak sedikit menurun. Bila di kanan ada tanaman pinus, di
sebelah kiri justru terdapat tanaman kayu-kayu yang heterogen. Jalanan yang
menurun itu menjauhkan kami dari tanaman homogen pinus.
“Wah, tampaknya kita akan memasuki perkampungan nih,” gumam
ayahku seakan ragu dengan keputuannya mengikuti intuisiku.
“Pokoknya, coba aja deh,” diriku agak mendesak.
Tampaknya ayahku memang mencapai puncak keraguannya.
Dia segera membanting stir ke kanan, masuk ke tanah lapang
yang bertanah merah. Sepertinya, dia hendak putar balik, kembali ke arah Puncak
Becici itu.
“Ayolah, masak kita tidak berani mengambil resiko sih?”
kataku mendesak.
“Kali ini, kita akan mengambil resiko. Aku percayakan
navigasi ke dirimu deh,” sahut ayahku mengalah.
Jadilah kami meluncur lagi, ke arah kiri. Memang, jalanan
seakan mengarahkan kami ke perkampungan. Namun, tidak terlalu lama roda
berputar di atas aspal halus, intuisiku terbukti benar. Di sebelah kanan mulai
tampak batang-batang lurus yang menjulang tinggi. Beberapa pohon tampak
berbeda, tidak terlalu lurus batangnya. Di sekujur batangnya menempel semacam
lembaran-lembaran kertas. Dengan cepat aku mengambil kesimpulan: itu pohon
eucalyptus. Tanaman miskin nutrisi itu menjadi makanan pokok binatang “berkacamata”,
yang juga dikenal sebagai koala.
Nah, sampai sini petualangan kami. Baca lagi di serial selanjutnya ya ^_^
Comments
Post a Comment