Misteri Masih Tak Terpecahkan #05

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang lanjutan dari serial bersambung Hutan Pinus Dlingo, yakni Hammock. Jika kalian sudah pernah ke Hutan Pinus Dlingo, kalian pasti mengetahui apa itu hammock. Namun, untuk istilah hammock sendiri, tampaknya beberapa dari kalian masih belum begitu mengerti. Bahkan, jika kalian mengetahui keadaan yang sebenarnya, aku juga belum mengetahui istilah hammock! Belakangan, aku diberi tahu oleh ayahku tentang istilah yang asing didengar oleh kita. Jika kalian ingin mengetahui apa itu hammock, maka cek saja serial sebelumnya. Kalian pasti akan mendapatkan jawabannya dari situ. Tentu saja, sekali lagi, referensi hammock berasal dari ayahku.

Oke, sekarang, kita akan membahas sesuatu hal yang berbeda dari hammock, namun masih berhubungan dengan serial bersambung Hutan Pinus Dlingo. Tidak membuang waktu lagi, mari kita mulai serial ini. Kami pun melanjutkan perjalanan, walaupun masih diliputi pertanyaan yang sama seperti serial sebelumnya. Sebenarnya sederhana saja, bagaimana sih cara kerja kain tersebut? Pertanyaan yang sangat sederhana, namun cukup membingungkan bagi kami, seorang, atau lebih tepatnya sekelompok wisatawan yang lemah tentang pengetahuan semacam itu.
Sebagai gambaran, kain dibentangkan antara satu pohon dengan yang lain. Lebih tepatnya, ada tiga kain yang dibentangkan secara bertingkat. Untuk naik ke tingkat pertama mudah saja. Karena tingginya memang cuma sepinggang orang dewasa. Nah, untuk naik ke bentangan kain tingkat dua bagaimana? Ingat, tidak ada tangga yang disiapkan untuk naik ke bentangan tingkat dua tersebut. Lalu, kalau mau naik ke tingkat tiga bagaimana? Itu lah yang semakin rumit. Tidak ada tangga sama sekali. Bentangan kain yang kedua saja sekitar 150 cm dari permukaan tanah. Bentangan kain ketiga minimal 225 cm. Mau melompat? Mau memanjat pohon? Itu misteri yang belum terpecahkan sampai saat itu.

Kami pun, tanpa membuang waktu banyak untuk memikirkan hal tersebut, berjalan pelan-pelan. Kadang-kadang, jika suatu tempat dalam kumpulan hutan pinus tersebut mempunyai latar belakang bagus, kami berhenti sebentar untuk berfoto. Apa maksudnya? Misalnya, sebuah jembatan kayu yang melintang di atas jalan sempit di tengah kumpulan pohon pinus. Sebenarnya, jembatan kayu itu dikhususkan untuk latar belakang berfoto, jadi kami otomatis menaiki jembatan tersebut untuk keperluan berfoto. Namun, kami tentu saja mematuhi peraturan yang ada di depan tangga naik jembatan, yakni maksimal 6 orang yang boleh naik ke atas jembatan. Sehingga, sebelum naik, kami memperhatikan jumlah orang di atas jembatan. Baru ketika orang di atas jembatan sudah usai dengan keperluannya, maka kami naik ke atas dengan hati-hati, berhubung tangga naik cukup curam dan terjal.

Begitu kami sudah selesai melaksanakan kegiatan yang umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang di dunia ini, alias berfoto atau mendokumentasikan liburan kami, dengan senang hati, kami berjalan. Walaupun tampaknya kumpulan pohon pinus itu luas dan tak berbatas, semua anggapan itu salah. Kami berjalan sampai ke ujung pohon pinus. Di sana, pemandangannya benar-benar tidak tergantikan. Jogjakarta benar-benar terhampar seperti padang rumput. Menara pemancar internet bahkan hanya setinggi jari telunjuk saja. Namun, kami semua tahu, itu tampak menipu, karena kami melihat berdasarkan sudut pandang dari wilayah tinggi. Sedangkan wilayah yang kami lihat berada jauh, jauh sekali dari tempat kami berada.

Di tempat itu, angin benar-benar bertiup kencang dan tidak berhenti. Angin itu bertiup di antara daun pinus yang tinggi, sehingga menimbulkan suara bersiur. Menurut kami, suaranya lebih mirip bunyi air, tepatnya deburan ombak yang menghantam bibir pantai. Bahkan, saking miripnya bunyi angin dengan bunyi air laut, ibuku salah mengira bahwa itu sungguh deburan ombak. Padahal itu adalah angin yang berhembus di antara daun pinus tersebut. Pada saat itu, kami berada di ketinggian minimal 500 meter di permukaan air laut. Mana ada pantai di situ!!! Oke, kita akan kembali ke topik awal. Di tempat itu pula, banyak batu sedimen yang membentuk kumpulan, yang digunakan oleh orang-orang untuk tempat duduk. Namun, ujung dari tempat itu curam dan terjal, menuju ke sebuah hutan di bawah sana, sehingga kami tidak berani beranjak lebih jauh dari tempat yang aman. Malang nasib kami, apabila jatuh ke tempat yang tidak diinginkan.

Nah, sampai di sini, kami masih memikirkan tiga bentangan kain bernama hammock itu. Kami belum memecahkan misteri bagaimana menaikinya. Itu akan menjadi kisah berikutnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT