Terlambat karena Force Majeur
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang serial
Pinus Asli Dlingo yang terakhir. Walaupun masih sambungan dari serial Pinus
Asli Dlingo, tapi nyatanya serial terakhir dari serial bersambung Pinus Asli
Dlingo tidak membahas tentang Hutan Pinus Dlingo itu sendiri. Penasaran apa isi
ceritanya? Jika kalian memang benar-benar ingin mengerti sesuatu yang
terkandung di dalam serial terakhir Pinus Asli Dlingo, maka bacalah serial yang
terakhir. Sekarang, tentu saja, kita membahas suatu hal yang berbeda. Semua
yang membaca cerita ini, apabila bertempat tinggal di Yogyakarta, pasti
mengetahui bahwa hari Rabu tanggal 28 September 2016, hujan deras melanda.
Tepatnya, hujan dimulai pada satu hari sebelumnya, pada malam hari
sampai pada pagi hari.
Ternyata, hujan yang terlihat sepele itu berdampak pada satu
hal. Apa dampaknya? Aku tidak akan menyebutkan secara langsung, tetapi kita
akan langsung memulai saja serial ini. Pada waktu itu, hari sudah mulai gelap.
Langit yang mendung seakan-akan mencurahkan seluruh kemarahannya dalam bentuk
hujan. Aku sudah bangun tentu saja, untuk bertugas melayani gereja. Untung
saja, kami mempunyai mobil dan seorang sopir yang handal, jadi tidak takut
basah ketika menembus hujan. Omong-omong, dalam misa di serial kali ini, ibuku
tidak ikut. Mengapa? Mungkin memang ada pekerjaan rumah yang mendesak, yang
harus ia kerjakan. Oke, kembali ke topik utama.
Dalam perjalanan, wiper mobil kami seolah-olah capek
menyingkirkan air dari kaca depan mobil. Mengapa? Karena hujan cukup deras dan
merata di seluruh daerah di provinsi Jogjakarta. Hal itu yang membuat kami agak
sebal, karena kaca depan mobil menjadi buram dan jarak pandang kami menjadi
pendek.
Namun kami bersyukur pada akhirnya, karena suasana misa pagi
menjadi damai dan tenang. Suara gemercik air hujan pun menyejukkan hati kami
yang ingin menyembahkan diri ke Tuhan. Dengan suasana yang menyenangkan, akupun
bermain musik dengan senang hati. Suara yang keluar dari organ yang aku mainkan
pun lembut dan menyenangkan hati, sehingga umat yang mendengar pun juga senang
dan gembira, sekaligus disertai dengan kekhusyukan yang mendalam.
Tiga puluh menit kemudian, atau lebih tepatnya setelah misa
pagi selesai dilaksanakan, kamipun dengan segera berjalan ke arah mobil kami.
Apesnya, hujan masih turun, sehingga kami terpaksa mengembangkan payung yang
kami bawa, dan itu sangat merepotkan kami. Namun, bagaimanapun juga, kami tidak
mengeluh dan tetap berjalan melewati berbagai genangan air yang ada di samping
kami. Begitu kami mendapati mobil hitam kami yang basah namun tetap utuh itu,
kamipun memasuki mobil itu dan dengan segera, ayahku menancap gas. Mobil kami
yang kecil mungil itu melaju kencang, membalap setiap mobil yang kami temui dan
dengan cepat mencapai rumah.
Akhirnya, kami sampai di rumah. Ayahku, yang biasanya pergi
langsung ke kampus untuk bekerja, malah ikut turun bersamaku. Beberapa menit
kemudian, ia baru berangkat. Ternyata, perbuatannya itu mengakibatkan sesuatu
yang agak aneh. Mengapa? Pada waktu itu, cuaca memang masih hujan. Di luar
dugaan, menurut cerita ayahku, semua orang yang memiliki mobil keluar dari
rumahnya. Tahu apa akibatnya? Jalanan menjadi ramai dan macet luar biasa.
Selain itu, ayahku yanng biasanya terkenal sebagai dosen yang rajin di
kampusnya, terlambat 8 menit masuk kelas. Dan keterlambatannya hanya terjadi
sekali seumur hidupnya, selama 16 tahun hidup mengajar.
Ini tentu saja menjadi sebuah kisah menarik. Coba bayangkan,
sebagai seorang dosen, ayahku memang terkenal dengan sikap super disiplin.
Tentu saja dalam hal menggunakan waktu di kelas. Tidak jarang, ayahku masuk 10
menit sebelum kelas dimulai. Bukan hal yang aneh, beberapa mahasiswa mengeluh
karenanya
Namun, kisah keterlambatan tersebut tampaknya tidak hanya
menyerang diri ayahku sendiri. Ayahku menceritakan bahwa kelas yang dimulai
jami 7.00 itu ternyata baru terisi 2/3 mahasiswa. Di manakah mereka berada? Nah
ini yang memang menjadi sedikit heboh. Hujan yang turun semalaman sampai pagi
tersebut tampaknya membuat banyak orang, tentu saja yang memiliki mobil, untuk
menggunakannya. Akibatnya, jumlah kendaraan ber-roda 4 di jalanan meningkat
tajam. Jalan menjadi terasa sempit, dan kemacetan terjadi di mana-mana.
Beberapa mahasiswa yang berasal dari arah barat (Godean) ternyata terlambat
lebih dari 45 menit. Melihat kejadian aneh yang tidak biasa itu, ayahku mengaku
sedikit berbaik hati, mereka yang terlambat masih diijinkan masuk. Ini adalah
satu contoh dari "force majeur".
Comments
Post a Comment