Veto Perkelincian #03
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang server
Minecraft tanpa Hamachi yang berujung pada tragedi. Mengapa? Karena, sebuah
kutukan ingin tahu, menyebabkan kondisi tubuhku down dan menyebabkan masuk angin dalam diriku. Sebenarnya tidak ada
yang salah, karena yang namanya manusia itu selalu diliputi dengan
keingintahuan yang tinggi. Namun, sebagai manusia yang mempunyai akal,
sebaiknya kita bisa membatasi keingintahuan kita tersebut. Oke, sekarang, kita
akan membahas lanjutan dari serial Naik Punggung
Imogiri. Tentu saja, karena serial tersebut sudah terlewatkan oleh dua serial.
Tanaman
miskin nutrisi (eucalyptus) yang menjadi makanan pokok binatang “berkacamata”, atau
sering disebut sebagai koala tersebut menyebar bersama pohon pinus dan
pohon jati. Terutama pinus, karena di manapun mata kami memandang, selalu ada
pohon pinus tinggi yang tegak gagah dan kokoh yang melindungi kami dari panas
matahari yang menyengat. Akhirnya, kami sampai pada kumpulan pohon pinus yang
sangat rapat. Tidak hanya itu, uniknya, di sekitar jalan diberikan tempat untuk
parkir. Banyak tukang parkir yang memberi aba-aba untuk parkir di tempat yang
telah disediakan tersebut.
Apa artinya? Artinya, kami sudah
sampai di lokasi yang ingin kami kunjungi tersebut. Dengan segera, ayahku
membanting setir ke arah tempat parkir mobil yang sudah disediakan. Akibatnya,
mobil kami berbelok tajam kanan. Karena ayahku cukup ahli dalam menyetir mobil,
maka dengan segera, mobil kami terparkir rapi diantara mobil-mobil yang
lainnya. Tempat parkir di situ cukup ramai, namun mengingat banyak kendaraan di
situ, alangkah ajaibnya ketika kami keluar dari mobil dan merasakan hawa yang
sangat sangat dingin, persis seperti di pegunungan. Bedanya, ini lebih dingin
dan sejuk, ala pinus.
Kami dengan segera menuju TLP,
yang lebih tepatnya Tempat Lokasi Piknik. Di sana, tepatnya di depan pintu
masuk tempat wisata tersebut, ada beberapa orang yang menjual kelinci dan marmot.
Mereka memamerkan kecantikan kedua hewan tersebut sambil memberi mereka
makanan secukupnya. Ayahku sempat
tertarik, karena ada memang salah satu kelinci yang mempunyai bulu selembut
karpet. Warnanya kombinasi hitam dan putih. Berbercak-bercak seperti kain mori
kena tinta pena. “Rio, tampaknya kita punya alasan untuk membawa pulang salah
satu atau sepasang dari binatang-binatang eksotis ini,” goda ayahku. Nadanya
terdengar serius, sekalipun aku tahu ayahku tidak begitu yakin apakah
keinginannya akan berjalan sesuai harapan. Memang, tidak terlalu lama, ibuku
dengan sigap memveto pendapatnya, katanya “Siapa yang mau mengurus kelinci/marmot
ini?” Alasan ibuku tepat, karena faktanya ayahku setiap hari sampai sore selalu
berada di kampus untuk bekerja, aku selalu berada di sekolah sampai siang,
sedangkan ibuku bekerja sebagai ibu rumah tangga yang tentu saja tidak dapat
dihindari manfaatnya. Jika kami membeli kelinci/marmot itu, secara otomatis
kelinci/marmot yang kami beli akan terlantar. Arti lainnya, kami hanya akan
membuang uang! Bukan hanya membuang, tetapi penelantaran makhluk hidup adalah
sebuah kejahatan!
Oke, karena kami sudah menyelesaikan masalah itu dengan
tenang, maka saatnya kita membahas lebih lanjut lagi. Di Hutan Pinus Dlingo
ini, tentu saja yang paling menarik adalah pemandangannya. Tetapi, sebenarnya,
sarana di situ lebih dari yang diperkirakan. Ada papan kayu yang bertuliskan
kata-kata lucu, membuat kami rela untuk mengangkat papan kayu yang cukup berat
itu untuk dibawa bersama kami saat berfoto. Usaha kami tidak sia-sia tentu
saja. Puluhan foto yang menarik dapat dijadikan bukti bahwa kami benar-benar ke
sana pada waktu itu. Tetapi tentu saja, puluhan foto tidak akan diupload di
sini. Kalau upload foto-foto tersebut di sini, kalian pasti mengira kami narsis
total. Oke, lewati saja hal itu.
Begitu kami sudah selesai berurusan dengan papan kayu
tersebut, kami patut untuk menelusuri lebih jauh lagi yang namanya Hutan Pinus
Dlingo. Jalanan menurun. Jalanan itu sendiri berupa tanah merah, yang tentunya
sangat khas karena tertaburi daun-daun pinus berbentuk jarum yang mulai mengering.
Mau tahu petualangan kami selanjutnya? Tentu saja kalian perlu kesabaran untuk
menunggu episode berikutnya.
Comments
Post a Comment