Tanam Kemandirian

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang kepergian ayahku ke Nagekeo. Sekedar info saja, Nagekeo adalah sebuah kabupaten yang berada di Nusa Tenggara Timur. Kabupaten ini sudah berusiah 8 tahun. Sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bajawa, sebuah kabupaten yang berada di ujung barat pulau Flores. Perjalanan ayahku dari Jogja ke Nagekeo tentu saja cukup jauh dan melelahkan. Jika ingin membacanya, silahkan akses ke serial sebelumnya. Sekarang, aku akan membahas tentang hal yang agak berbeda. Kalian pasti mengetahui, tugasku yang satu ini merupakan tugas rutin yang aku lakukan setiap hari Selasa dan Rabu. Apa itu? Tentu saja, pelayanan gereja. Aku bermain organ pada hari Selasa dan Rabu pada pagi hari, sewaktu kebanyakan orang-orang masih tidur.

Kali ini, tugasku agak berbeda. Biasanya ada ayahku yang menjadi pendamping dan dirigen agar ketukan koor tidak melambat, sekarang tidak. Maka, aku harus berjuang agak lebih keras dari biasanya. Namun, aku memang sudah terbiasa dalam hal mandiri, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pada waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah lima. Aku dibangunkan oleh ibuku dengan segera. Begitu aku bangun, aku langsung ke kamar mandi dan mandi. Butuh waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit, baru aku selesai mandi. Setelah mandi, tentu saja, aku berganti baju, menyiapkan buku teks yang akan digunakan untuk misa harian, lalu akhirnya berangkat ke Gereja Kotabaru.

Ayahku selalu mengantarku bermain organ di misa harian memakai mobil jika keadaan tidak mendesak. Namun, apa boleh buat, ayahku sedang berada di Nagekeo untuk melaksanakan tugasnya. Akhirnya, aku dan ibuku, memakai jaket, masker, helm, celana panjang, dan kaos tangan, siap melawan hawa pagi yang sangat dingin. Benar saja. Semua peralatan tadi cukup untuk menangkal udara dingin di pagi hari, tepatnya dini hari, sehingga kami dapat sampai dengan selamat di Gereja Kotabaru tanpa membeku kedinginan di perjalanan.

Sesampainya di sana, dengan segera, kami berjalan melewati samping gereja, agar dapat sampai di ruangan tertentu. Ruangan tertentu yang kumaksudkan ini berguna untuk tempat berganti baju petugas misa. Selain itu, ada berbagai kegunaan yang tidak dapat aku sebutkan di sini. Yang terpenting adalah, ruangan ini dihubungkan oleh pintu geser dengan ruangan yang sebelahnya. Begitu aku dan ibuku memasuki ruangan yang serbaguna itu, kami memasuki ruangan sebelahnya melewati pintu yang digeser. Ruangan itulah yang terpenting bagiku pada saat itu? Mengapa? Karena, kegunaan dari ruangan itu adalah tempat organis dan koor bertugas. Ruangan itu setengah tertutup, sehingga tidak bisa dilihat secara langsung oleh umat atau jemaat yang menghadiri misa.

Dengan segera, aku menghidupkan organ. Sementara itu, ibuku menulis daftar lagu yang sudah kami pilih. Kemudian, ia menyerahkan selembar kertas yang juga berisikan daftar lagu kepada pak prodiakon, agar pak prodiakon dapat menampilkan angka atau daftar lagu dengan sistem angka digital. Setelah membuka organ, aku melatih lagu-lagu yang akan aku mainkan. Namun tentu saja, dengan suara pelan dan lembut agar tidak terlalu mengganggu umat yang bersiap untuk ikut misa harian pagi kali ini.

Misa pagi harian itu agak unik. Misa dimulai ketika terdengar suara kemerincing unik dari ruangan sebelah. Jadi, jantungku agak berdebar-debar menunggu suara unik itu. Begitu suara unik itu dibunyikan, artinya tugasku dimulai. Benar saja. Tetapi sebelumnya, suster dan bruder yang menjadi petugas koor sudah datang terlebih dahulu. Mereka sudah stand-by di tempat masing-masing. Mereka sangat mengapresiasi permainan dan perjuanganku. Kenapa? Karena menurut mereka, aku sudah berjuang untuk melayani gereja.


Ternyata, walaupun tanpa ayah yang mendampingi, aku dapat memainkan semua lagu dengan baik. Bahkan, petugas koor pun juga tidak buruk-buruk amat. Mungkin, kemandirian memang perlu ditanamkan sejak kecil!

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT