Akhir dari Pertikaian

Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang kegeraman teman-teman kelompokku dan aku terhadap kedua teman kami yang kurang bertanggung jawab, karena mereka terlalu “menghayati” peran mereka sebagai tokoh antagonis. Artinya, mereka menjadi tokoh antagonis dengan tidak berangkat latihan terakhir kami. 

Nah, di dalam cerita kali ini, kita akan membahas tentang, siapa yang menjadi tokoh tritagonis atau penengah yang sejati? Jawabannya, akan muncul pada cerita kali ini. Pada waktu itu, hari sudah beranjak pagi. Aku, seperti biasa, segera bangun dari tempat tidur dan mandi pagi. Setelah selesai mandi, aku berganti baju seragam sekolah, minum energen, lalu pergi ke sekolah diantar bapakku menaiki motor.

Begitu sampai di sekolah, aku langsung menuju ke kelas. Ternyata, di sana, aku dan teman-teman kelompokku mendapatkan informasi, bahwa kedua temanku yang tidak datang beralasan bahwa mereka tidak tahu. Menurutku, itu sangat keterlaluan, karena jelas-jelas aku dan teman-temanku memberitahu mereka bahwa pada hari Minggu, kami mempunyai jadwal latihan. Tetapi, karena kami adalah kelompok yang cukup solid, maka kami tidak saling menyalahkan dan bersikap kalem. 

Apalagi, kelompok yang lain tidak mempunyai hasil yang lebih bagus daripada kelompok kami. Mereka, sama dengan kami, hanya latihan drama 2 kali saja. Padahal, latihan drama itu harus dilangsungkan lebih dari lima kali untuk mendapatkan kematangan. Akhirnya, setelah beberapa menit kemudian, bel masuk sekolah pun berbunyi. Kami, seperti biasa yang dilakukan pada hari Senin, mengikuti upacara selama satu jam. Seperti biasa, upacara bendera dilaksanakan untuk melatih ketertiban dan kedisiplinan siswa. Selain itu, upacara bendera juga dilaksanakan untuk menghormati para pahlawan yang sudah memperjuangkan hak milik bangsa Indonesia ini.

Ketika upacara bendera selesai, kami pun masuk ke kelas secara berurutan untuk memulai pertunjukan drama. Ketika pelajaran dimulai, kami diberitahu oleh guru kami bahwa pertunjukan drama diundur sampai hari Jumat. Tentu saja, hal itu adalah kabar baik, karena teman kami yang tidak ikut latihan bisa latihan lebih matang lagi. Namun, itu cukup menjengkelkan, karena kami sudah capek-capek latihan di rumah teman kami. Tapi, itu tetap kami syukuri, karena secara tidak langsung, Tuhan memberi waktu kepada kami agar kami dapat latihan lebih lama lagi.

Akhirnya, setelah mendapatkan kabar baik itu, kami senang dan selama hari-hari itu, kami latihan dengan penuh semangat. Ada dua hal yang aku pelajari. Pertama, seringkali, kegeraman atau kemarahan terhadap teman-teman lain yang tidak bertindak beres ada kalanya salah sasaran. Energi habis untuk marah dan kecewa. Namun, justru hal tidak diduga memihak kita. Kedua, dan ini yang paling sulit: memberi maaf kepada teman-teman lain. Rasa dongkol dan geram seringkali begitu kuat. Lebih mudah mempertahankan amarah daripada berpikir jernih. Setidaknya, melalui belajar drama tersebut, kami bisa belajar lebih memahami satu sama lain.


Omong-omong, di manakah tokoh tritagonisnya? Nah, itu yang hendak aku sampaikan. Menurut Ibu Guru kelasku, tritagonis merujuk pada sosok orang tertentu. Namun, dalam kasus kami, sepertinya, peran tritagonis tidak dimainkan oleh orang. Tetapi oleh keadaan, atau lebih tepatnya pengumuman ditundanya penampilan drama. Lho kok? Sederhana saja. Peran tritagonis memainkan mendamaikan. Nah, dalam kasus kami, justru pengumuman penundaan penampilan drama itu yang membuat kami lega. Kami memiliki waktu untuk lebih banyak belajar lagi. Dengan alasan ini pula, ternyata tritagonis bukan hanya orang, tetapi bisa juga suasana. 

Comments

Popular posts from this blog

Ngenol Bikin Dongkol

Teknisi Correction Tape

Matahachi, sang Lemah Hati #05 - TAMAT