Pengakuan Itu Mahal Harganya
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang
rendahnya sikap bertanggungjawab dari beberapa temanku. Memang, di dunia ini,
diciptakan keseimbangan oleh Tuhan. Intinya, semua anak itu pintar. Tidak ada
yang bodoh. Namun, beberapa dari mereka,
sifatnya agak malas, sehingga kepintarannya yang tersembunyi itu tidak bisa
dikembangkan, dan malah membuat kepintaran itu semakin bersembunyi. Di dalam
serial ini, kita akan membahas hal yang mirip dengan itu, namun dengan konteks
yang agak berbeda. Secara garis besar, konteks dari serial ini adalah pelayanan
gereja. Kalian tahu kan, pada serial-serial sebelumnya, aku memang bertugas
untuk menjadi organis gereja? Pada serial kali ini, kita akan membahas,
bagaimana aku mendapatkan pengakuan secara umum, oleh salah satu pastor yang
kagum akan permainanku. Kagum akan permainanku? Apa pasal?
Oleh Tim Organis Gereja Kotabaru, aku bersama temanku yang
lebih senior, ditugaskan untuk mengiringi misa Sabtu sore, jam 18.00. Singkat
cerita, untuk mengantisipasi kemacetan di week-end,
kami sepakat berangkat dari rumah jam 17.00. Jarak rumah ke gereja kurang
lebih 15 km. Beruntung bagi kami, perjalanan lancar. Kami mencapai gereja jam
17.35. Segera kami menuju ruang koor. Di
sana, sudah banyak anggota koor yang duduk. Di bangku organis telah duduk sosok tinggi, besar, dengan senyum
manis yang mengembang di bibirnya. Orang itu tentu saja Mas Frendy, partnerku. Tentu
saja, ada kelegaan yang segera menjalar dan merayap di ruang dadaku. Aku berjabat
tangan dengannya. Dengan segera, kami segera menjalin komunikasi. Tentu saja,
komunikasi kami tidak jauh-jauh dari lagu yang akan aku mainkan.
Akhirnya, misa pun dimulai. Beberapa lagu sudah kami lewati.
Titik puncaknya ada pada ketika salah satu pastor yang bertugas homili
mengungkapkan kotbahnya. Secara garis besar, pastor tersebut membahas tentang
tema ekaristi pada waktu itu. “Mendidik dengan keras itu benar. Keras di sini
jangan disamakan dengan kekerasan,” papar Romo Danang Bramasti, SJ. “Sikap
keras harus ditunjukkan oleh orang tua. Kalau orang tua tidak lagi cerewet saat
menyaksikan anak-anak tidak belajar, itu persoalan serius. Berbahagialah bapak
dan ibu sekalian, yang masih bertahan dengan sikap cerewet. Berbahagialah anak-anak
yang memiliki orang tua cerewet demi kebaikan,” lanjutnya panjang lebar.
Sampai pada titik tertentu, kurang lebih di tengah-tengah
homili, beliau mengatakan aku sebagai bahan contohnya. “Kita punya organis
cilik. Namanya Rio,” begitu beliau memulai. “Dia ini, sekalipun masih
kecil, tetapi telah memiliki kedisiplinan macam itu. Pada pagi hari, tiap hari
Selasa dan Rabu, dia akan memainkan organ dalam pelayanan misa. Sebelum jam
5.30 dia sudah datang. Padahal rumahnya di Kalasan,” begitu beliau
menggambarkan apa yang memang sesungguhnya aku lakukan. Itu memang fakta. Kebetulan
sekali, Romo Danang sering memimpin misa pagi. Jadi, singkatnya, beliau menjadi
saksi mata atas perkembanganku selama hampir tiga bulan ini. Tampaknya, beliau
mengamati, ada konsistensi dan kedisiplinan di balik itu semua. Maka, tidak
segan-segan, Romo Danang pun mengangkat kisahku sebagai ilustrasi kecil dalam
kotbahnya sore itu.
Bagiku, apa yang disampaikan oleh Romo Danang itu tentu saja
membuat diriku senang dan bahagia. Namun, kalau boleh jujur, apa yang telah aku
raih ini masih jauh dari sempurna. Kalau apa yang aku tampilkan, aku tulis, dan
aku tunjukkan melalui berbagai prestasi, ternyata telah mengundang pengakuan
dari banyak orang, itu sebenarnya bukan keberhasilan diriku semata. Aku boleh
berbangga karena memiliki ayah yang memberikan ruang untuk bermain dan
bereksplorasi. Dia lah yang memberikan diriku kesempatan untuk main game
Minecraft dan yang lain-lain. Namun, dia pula yang mengajarkanku untuk
membatasi waktu permainan game online.
Mamaku juga tidak boleh ketinggalan aku sebut. Dia adalah
sosok ibu yang keren abis. Sangat rapi. Rajin menjaga kebersihan. Dan yang
tidak kalah hebohnya, dia juga “cerewet.” Tentu, tanpa kecerewetan mamaku, aku
dipastikan tidak memiliki cukup kedisiplinan. Pengakuan dari Romo Danang itu
sebenarnya tidak boleh hanya untukku saja. Kedua orang tuaku pun mesti
mendapatkan pengakuan tersebut. Pengakuan yang memang mahal harganya:
kedisiplinan adalah buah dari kerjasama dan sikap saling percaya di keluarga.
Comments
Post a Comment