Sepotong Pertobatan
Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna. Di dalam agama manapun, selalu ada individu yang di atas manusia. Namanya sering
disebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa, atau Maha Kuasa, atau Maha Penglihat, dan
lain sebagainya. Gelarnya tidak bisa disebutkan di sini, karena dalam keyakinan agama, Tuhan adalah segalanya. Tuhanlah yang menciptakan dunia ini. Bahkan,
Tuhan menciptakan kita, dalam ajaran agama. Kita patut menghormati agama kita,
karena ajaran agama kita selalu mengajarkan kebaikan dan bukan keburukan. Nah,
di dalam serial ini, kita akan membahas tentang ketidak sempurnaan seorang
manusia. Seperti sebelumnya, ini tidak akan jauh-jauh dari pengalaman
pribadiku.
Pada waktu itu, hari sudah mulai siang. Seperti biasa,
tugasku sehabis pulang sekolah adalah menulis, main musik, dan mengerjakan
suatu hal yang lain. Pada hari itu, tepatnya hari Senin, tentu saja agak
istimewa. Mengapa? Karena guru les/privatku, Mbak Ari, akan mendatangiku untuk
belajar bersama tentang Matematika. Omong-omong, Matematika adalah salah satu
pelajaran yang aku sukai. Kenapa? Karena, dalam satu soal Matematika, terdapat
beberapa teka-teki yang musti dipecahkan. Sedangkan aku cukup suka teka-teki.
Jika ada sesamaku di sini yang menyukai Matematika, pasti begitu berhasil menyelesaikan
soal Matematika yang cukup sulit akan puas sepuas-puasnya, karena sudah membuat
semacam kemenangan. Walaupun itu kemenangan yang kecil, namun aku tetap puas,
karena suatu soal Matematika itu terdapat api semangat yang terpendam.
Oke, kembali ke pokok utama. Setelah pulang sekolah, tentu
saja aku menulis untuk dipublikasikan ke blog. Ya, rencana pembuatan buku dari
blog ini akan terwujud beberapa hari lagi. Jadi, tentu saja, aku akan semakin
antusias untuk menulis cerita agar dapat dipublikasikan di blog dan dapat
dikembangkan menjadi sebuah buku semacam diary kecil. Tetapi, pada waktu itu,
aku agak ceroboh. Kalian tahu kan, bagaimana efek sebuah game? Game bisa
membuat kita kecanduan. Apalagi jaman sekarang, game kekerasan sudah
merajalela, membuat anak-anak tergiur karenanya. Begitu pula denganku, yang
membuat penyesalan begitu dalam. Sebuah game ternyata bisa membuat celaka.
Karena aku begitu ‘ngebet’ bermain game, maka makanan yang disediakan oleh
ibuku hampir lupa aku makan.
Aku pulang sampai rumah kira-kira jam 13.30. Aku langsung
menggunakan kesempatan untuk menulis. Begitu selesai, aku pun segera
mengirimkan draf tersebut ke ayahku via email. Dia akan membaca dan memberikan
sentuhan kecil untuk kemudian aku publikasikan. Seperti biasa, aku akan
melakukan beberapa hal pada waktu yang sama. Multi-tasking. Menulis sambil
makan. Nah, di sinilah persoalannya. Satu porsi makanan di sampingku sampai
lupa aku sentuh. Ibuku sendiri sedang sibuk menjahit di lantai atas. Kalau dia
melihat diriku membiarkan makanan itu tak tersentuh, tentu aku akan mendapatkan
kemurkaan dari dirinya.
Dampak buruknya? Ketika les, aku menjadi kurang konsentrasi.
Pertanyaannya adalah, kok bisa? Karena, telat makan mengakibatkan sakit.
Sementara itu, gara-gara aku hampir lupa makan, maka aku menderita masuk angin.
Ya, sakit yang pasti semua orang di Indonesia pernah mengalaminya. Jadi, selama
les, aku tidak konsentrasi dan akhirnya menjadi kacau. Begitu selesai les,
kondisi badanku makin memburuk, sehingga aku harus diobati dengan cara
pengobatan tradisional, yaitu ‘kerokan’ dan meminum parasetamol. Kedua
orangtuaku masih memaklumi, tetapi bukannya mereka tidak memberiku batasan
dalam bermain game. Akhirnya, mereka memberitahuku untuk sekali lagi membatasi
untuk bermain game. “Game itu baik untuk sarana hiburan, namun jangan membuat
game menjadi prioritas utamamu,” kata ayah dan ibuku.
Akhirnya, tentu saja, sebuah penyesalan datang dariku. Dalam
kondisi yang tidak sehat itu pula, aku mempersiapkan lagu untuk pelayanan di
pagi hari. “Adalah hal yang baik, bahwa dirimu menunjukkan penyesalan itu,
bukan dengan cara menyalahkan orang lain. Tapi dengan berani mengambil tanggung
jawab. Dalam kondisi tidak begitu sehat saja, dirimu tetap tidak menolak untuk
melayani di gereja,” kata ayahku. Di balik kata-kata itu, tersirat sikap tidak
menyalahkan. Aku belajar dari cara
ayahku bersikap bijaksana seperti itu.
Comments
Post a Comment