Melawan Inkonsistensi
Pada serial sebelumnya, kita sudah membahas tentang salah
satu keunikan dari keluargaku. Sekarang, tentu saja, kita akan membahas tentang
hal lain yang sama menariknya. Kalian pasti tahu tentang salah satu temanku
yang tidak konsisten pada serial sebelumnya yang berjudul “Memilih Tetap
Bahagia?” Nah, di cerita kali ini, kita akan membahas, bagaimana ketidak-konsistenan
temanku yang lain, namun dalam hal yang berbeda. Kalau pada cerita sebelumnya
dalam hal drama, sekarang dalam hal permainan. Secara garis besar, serial di
sini akan menceritakan lanjutan dari serial kemarin, yaitu “Kisah Kopi Pahit.”
Pada waktu itu, setelah sampai di rumah dari tempat makan “Nasi
Merah Lombok Ijo” tersebut, kami pun melanjutkan kewajiban kami di rumah. Ayahku
melanjutkan pekerjaan kampusnya, ibuku mengerjakan tugas jahitannya, dan akupun
menulis cerita untuk dipublikasikan di blog. Setelah selesai menulis, tentu
saja, aku segera melanjutkan kewajibanku untuk berlatih musik organ. Dengan serius,
aku menelaah not-not balok yang ada di hadapanku untuk mendapatkan nada yang
enak untuk didengar. Setelah itu, aku mendapatkan imbalan dari kedua kewajiban
yang besar itu. Apa itu? Tentu saja, aku boleh bermain game yang aku sukai,
yaitu Minecraft. Di sana, aku bermain dalam mode multi-players.
Terus terang saja, aku sudah agak bosan bermain
sendirian tanpa ditemani oleh siapapun. Main sendirian itu artinya aku main di
mode single-player. Sementara itu, di
multi-players, sudah banyak orang
yang bermain Minecraft, yang berkumpul di salah satu server yang aku ikuti.
Nah, di server tersebut, aku sudah menunggu kehadiran
temanku. Omong-omong, sebelum pulang dan menuju ke rumah makan “Nasi Merah
Lombok Ijo,” aku sudah janjian terhadap
temanku yang juga bermain Minecraft
untuk hadir di salah satu server yang kami ikuti. Anggap saja namanya adalah si
A. Mengapa namanya perlu disamarkan? Wah, tentu tidak etis lah menyebutkan nama
orang lain, untuk dipublikasikan di ruang yang terbuka seperti ini, tanpa minta
izin! Apalagi ini terkait dengan satu keanehan dalam dirinya, atau lebih
tepatnya keanehan negatif bernama ketidak-konsistenan!
Ya, itu lah yang terjadi pada hari kemarin. Kami membuat
janji. Aku sudah masuk ke virtual server yang telah kita sepakati. Setelah
kutunggu-tunggu selama beberapa menit, sambil memainkan beberapa permainan survival, dia tidak juga muncul di
server tersebut. Aku lihat di list
pemain yang hadir, tidak ada nickname
si A tersebut. Ketika aku mengetahui kejadian seperti itu, aku sudah menduga
bahwa si A berhalangan untuk hadir di
server tersebut. Akhirnya, dengan agak terpaksa, aku bermain sendiri lagi di
server tersebut. Hm, apakah karena dia berhalangan? Atau sengaja menghindari
diriku? Atau sengaja mempermainkan diriku?
Apapun alasannya, tampaknya kesimpulannya cuma satu. Ternyata,
ada beberapa orang yang mudah berjanji, namun kesulitan memenuhi janjinya
tersebut. Temanku si A ini mirip sekali dengan temanku yang lain (sebut saja
namanya si B), yang juga tidak konsisten dalam latihan drama. Walaupun si B itu
sudah berjanji untuk latihan drama, namun akhirnya, dia tidak hadir dalam
latihan drama. Begitu pula dengan temanku si A. Walaupun ia sudah berjanji akan
muncul di server Minecraft tersebut, namun toh, dirinya tidak hadir dan bermain
bersama denganku. Akhirnya, janji itu menjadi janji palsu dan hanya menjadi
ampas.
Aku pikir, godaan untuk tidak konsisten dan menepati janji
kadang memang bisa begitu beragam. Alasan capek, atau ada permainan lain yang
lebih menarik, atau kemalasan, bisa menyambangi siapapun. Kalau aku menuliskan
hal itu di sini, bukan berarti aku tidak pernah terserang godaan. Aku adalah
seorang anak yang juga adalah manusia biasa. Aku juga memiliki janji untuk menulis
secara reguler tiap hari. Bermain musik untuk meningkatkan keterampilan setiap
hari. Belajar untuk mempersiapkan ujian akhir di kelas enam ini. Ada kalanya berbagai
hal yang sudah aku sepakati rasanya berat untuk dijalankan. Ada kalanya rasa
malas begitu menggoda.
Namun, terlepas dari itu, tampaknya aku masih perlu
mengucapkan syukur. Kedua orang tuaku tidak lelah mengingatkanku. Bukan hanya
sekedar mengingatkan sebenarnya. Lebih tepatnya memberikan keteladanan. Contoh nyata.
Pendampingan yang memang aku butuhkan. Jadi aku tidak harus merasa berjuang
sendirian.
Comments
Post a Comment